Hari ini begitu cerahnya, mentari masih setia memberikan cercahnya pada hamparan bumi. Seberkas cahayanya menembus korden-korden ruang guru SD 01 Notogiwang. Didalamnya tampak seorang tua memberikan arahan kepada guru-guru yang tengah duduk membundar. Orang yang tengah bicara itu adalah kepala sekolah SD 01 Notogiwang. Sedang orang-orang yang dengan seksama mendengarkan dirinya adalah guru-guru mata pelajaran.
Hari ini adalah hari penantian yang telah lama ditunggu oleh seluruh keluarga siswa kelas enam. Hasil belajar selama enam tahun akan segera dibagikan, hasil dari ujian nasional. Tak terasa jerih payah mereka selama anam tahun hanya ditentukan pada ujian tiga sampai empat hari saja. Dan pada akhirnya semua itu hanya ditentukan oleh sebuah tulisan yang terdapat dalam amplop. Lima huruf itu yang akan menjadi penentu terhadap apa yang telah mereka usahakan selama ini. Dan rapat terbatas didalam kantor itu tengah membincangkan hal itu. Hasil ujian kelas enam akan segera dibagikan kerumah-rumah siswa mereka.
Beberapa siswa kelas enam tampak berangkat ke sekolah. Mereka berjinjit-jinjit melongok kedalam ruangan tempat rapat terbatas itu. Hati bergemuruh harap-harap cemas menanti amplop cokelat itu. Setelah amploop itu dibuka masa yang baru akan segera mereka jalani. Beberapa diantara mereka ada yang segera melanjutkan ke jenjang selanjutnya seperti empat sekawan, Rido, Fadil, Dayat, dan Barok. Adapula yang pergi ke kota menjadi perantauan mencari uang, atau sekedar membantu orang tua menggarap sawah dan hutan.
Sekolah ditepi hutan itu seakan-akan ikut berdetak jantungnya, seolah-olah terik mentari pagi menguras peluh tubuhnya. Sekolah SD itu terletak persis dipinggir jalan desa, terletak di tengah-tengah diantara Desa Tuwarih dan Desa Jurang. Terdapat jalanan dari bebatu yang ditata begitu rupa untuk dilewati tukang ojek dan sesekali dilewati truk.
Sementara itu para orang tua pelajar juga beraneka rupa menghadapi situasi ini. Ada yang ditinggal pergi ke ladang, ada yang sudah pergi ke pasar menyiapkan selametan, ada pula yang ikut mengantar anaknya ke sekolah. Atau ada yang tetap dirumah saja menunggu amplop itu diantarkan oleh guru-guru mereka.
***
Dari sebuah bilik rumah mata pemiliknya berkaca-kaca menahan gembira yang mengharu-biru. Seakan bangga, bercampur sedih. Jika di kota sana mungkin bukanlah apa-apa, tetapi bagi penduduk yang hidup dibalik bukit dan hutan adalah suatu kebanggaan dan sebuah prestasi jika dapat lulus dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mata Fadil menahan tangis bahagia atas berita kelulusannya. Orang tuanya erat memeluk tubuh Fadil, menciumi rambut dan keningnya.
Suasana seperti itu tidak jauh berbeda di rumah siswa-siswa yang lain. Begitu pula dengan Dayat dan Rido. Bahkan ibu Barok sudah menanak segala masakan slametan. Sehabis Ashar nanti mereka para orang tua siswa akan saling berkirim Golong, makanan khas slametan yang berisi nasi dan lauk-pauknya.
Pada saat anak-anak yang lain memilih berhenti sekolah dan ikut membantu orang tuanya bekerja. Maka, bagi Rido, Fadil, Barok, dan Dayat melanjutkan sekolah adalah perkara yang lebih penting. Meski bagi Barok kesulitan ekonomi menjadi penghalangnya. Namun bukan masalah, orang tuanya masih bisa mengandalkan kebun cengkih. Gaji sebagai guru ngaji di tempat pengajian Pak Hasan bukanlah sebagai pegangan. Sebab, bagi Sobari urusan pendidikan anak, urusan yang lain lagi tidak ada sangkut pautnya dengan urusan perut. Urusan moral adalah urusan hidup dan kehidupan. Bagaimana agar hidup tetap berjalan seimbang. Itulah prioritas seorang petani Sobari.
Seperti biasa selepas dari sekolah mereka berempat akan pergi ke Kali Genteng. Mandi disunai atau sekedar bercengkerama menikmati pemandangan. Siang ini mereka berempat tidak mandi di Kali Genteng, tetapi mereka menyeberanginya, menyusuri bebatuan yang sudah disusun oleh petani Tuwarih untuk menyeberangi sungai.
Bebatuan itu disusun sedemikian rupa sehingga dapat dilewati setiap orang yang akan menyeberangi sungai. Batu itu disusun tidak sekedar untuk sarana menyeberang, tetapi juga dibentuk membentuk parit-parit untuk mengaliri sawah yang bertebaran di sepanjang aliran Kali Genteng. Sawah-sawah itu membentuk undak-undak yang indah bak tangga yang menjulang menuju ke langit.
Mereka berempat sudah sampai pada sisi lain dari Kali Genteng. Sepatu yang sudah sobek diujung-ujungnya itu kuyup oleh air sungai yang tembus kesisi dalam sepatu. Mereka lepas sepatu-sepatu itu, meletakkannya dipinggir sungai sembari membiarkan sinar mentari yang terik mengeringkannya. Mereka berempat tidak duduk dan menunggui sepatu-sepatu mereka. Mereka terus melanjutkan perjalanan menuju keatas bukit. Kemanakah kiranya tempat yang sedang mereka tuju.
“Ayo teman-teman. Kita sudah semakin dekat dengan puncak bukit.” Ujar Barok sambil nafasnya yang terengah-engah.
Fadil, Dayat dan Rido tetap melanjutkan perjalanan di belakang Barok tanpa menanggapi perkataan Barok. Mereka menuju ke puncak bukit Sikidang, dari atas Sikidang seluruh Tuwarih terlihat jelas. Bebukitan yang menghampar naik-turun, Kali Genteng yang terlihat mengular, meliuk-liuk melewati bebukitan Paninggaran. Alirannya berasal dari Wonosobo yang terus membelah Kali Bening, Karang Kobar dan Paninggaran, Comal, Pemalang dan akhirnya akan sampai pada garis pantai utara dari pulau Jawa.
Barok yang memang sedari tadi memimpin perjalanan sudah sampai di puncak merasakan hembusan angin yang terasa begitu menyejukkan. Tangannya ia rentangkan ke penjuru Utara dan Selatan. Dahan-dahan pinus dibelakangnya ikut menari-nari diiringi harmoni alam yang Tuhan suguhkan siang ini. Mentari yang terik sengatnya kalah dengan awan-awan yang berarak menghiasi atas bukit.
“Hei! Cepatlah sedikit kawan!” Teriak Barok dari atas bukit kepada teman-temannya yang tersengal nafasnya karena mengikuti Barok yang berjalan begitu cepat.
“Kau berjalan terlalu cepat kawan.” Ujar Fadil sambil menepuk pundak Barok. Mengagetkannya yang tengah memejamkan mata menikmati semilir yang semakin menyejukkan.
Fadil diikuti oleh dua temannya yang sampai pada puncak belakangan. Mereka berdua tersengal. Nafasnya masih satu-dua naik-turun.
“Duduklah diatas batu-batu itu kawan.” Ucap Barok sambil menunjuk sebuah batu besar yang terletak lima meter persisi dari bibir tebing Sikidang.
Rido dan Dayat duduk mendahului dua kawannya. Kakinya ia luruskan kedepan, tangannya menyangga tubuh menjejak batu besar itu. Warga desa biasa menyebut batu yang besar itu dengan Watu Kodok, yang artinya batu katak. Sebab batu itu bentuknya mirip dengan katak.
“Bagaimanan pemandangannya kawan?” Tanya Barok yang duduk pada hamparan rumput-rumput hijau. Tatapannya memandang tubuh Fadil yang duduk disampingnya itu.
“Pemandangan yang indah kawan. Penciptaan yang maha sempurna.” Jawab Fadil sembari menatap Gunung Slamet arah Barat Daya dari bukit Sikidang Tuwarih.
“Apa maksudmu mengajak kita kesini Rok?” Tanya Rido.
“Iya, apa yang membuatmu mengajak kita kesini.” Tambah Dayat.
“Betul. Kenapa kau mengajak kami ke tempat ini Rok?” Tanya Fadil.
Barok masih memandangi hamparan bukit-bukit yang saling bersilang menjadi pasak bumi itu. Suasana diam. Angin mengambil bagiannya, membisikkan sepoinya yang menyejukkan. Waktu terasa menjeda dalam kebisuan mereka berempat. Pada saat itu pula jiwa-jiwa mereka saling merasakan, saling mendengarkan. Anak-anak kecil yang lain dari kawan-kawannya di Tuwarih. Anak-anak yang memiliki jalan pikiran berbeda dari kanak-kanak Tuwarih pada umumnya. Merekalah pribumi-pribumi Tuwarih yang memiliki cita-cita. Memiliki semangat dalam dada yang selalu membara bak bara api dalam sekam.
“Bagaimana? Apakah orang tua kalian mengijinkan kalian sekolah di kota sana? Di Pekalongan.” Tanya Barok memecah sunyi.
“Ayah-Ibuku mengizinkan. Dengan satu syarat!” Jawab Fadil.
“Syarat?! Apa syaratnya, Dil?” Tanya Barok.
“Dengan syarat aku juga nyantri!” Jawab Fadil.
“Apa?! Aku, aku tidak mau kalau harus nyantri. Aku nggak ikut Rok. Aku ndak ikut!” Jawab Dayat sambil turun dari Watu Kodok.
Ayah Dayat satu-satunya juragan cengkih di Tuwarih. Keluarganya terhitung orang paling berduit di Tuwarih. Hampir seluruh penduduk Tuwarih bekerja pada ayahnya. Sebenarnya Juragan Slamet ayah Dayat melarang anaknya untuk bergaul dengan Fadil anak dari Ustadz yang Juragan Slamet benci sebab masalah zakat. Juga dengan Barok anak dari Sobari petani cengkih yang miskin. Satu-satunya teman yang diijinkan oleh Juragan Slamet adalah Rido. Sebab, Rido anak dari pegawai negeri satu-satunya di Tuwarih sehingga dianggap setara dengan Juragan Slamet.
Seringkali ketika mereka berempat main bersama di rumah Dayat. Barok dan Dayat disuruh pulang. Seperti pada suatu siang ketika mereka berempat bermain dihalaman rumah Juragan Slamet. Waktu itu tanpa sengaja mainan yang baru dibelikan Juragan Slamet dari kota rusak karena jatuh dari tangan Dayat.
“Pulang kalian!”, bentak juragan Slamet.
“Tapi, bukan saya yang merusak pak. Dayat sendiri tadi yang tidak sengaja menjatuhkan.” Barok membela diri, dan tentunya juga membela Fadil.
“Jangan menjawabi kalau orang tua sedang bicara.”, bentak juragan Slamet lagi,”Untung kalian anak-anak ustadz-ustadz kampungan itu. Kalau bukan?”
“Kalau bukan kenapa Pak?” Potong Barok.
“Dasar anak orang miskin. Kalian berdua main dengan Dayat dan Rido hanya untuk mengambil mainan mereka bukan? Ngaku saja, kalian itu nggak punya apa-apa. Orang tuamu itu punya hutang dimana-mana.” Bentak juragan Slamet.
Mata Barok nanar, menangis, hatinya sedih. Usianya yang lebih tua dari mereka berempat remuk hatinya mendengar orang tuanya dijelek-jelekkan. Fadil hanya diam ketakutan menghadapi amarah juragan Slamet.
“Ayo Rok, kita pulang saja.” Ajak Fadil waktu itu.
Kejadian seperti itu sudah biasa Barok hadapi. Tidak hanya sekali sering kali juragan Slamet akan memarahi Barok dan Fadil ketika ia melihat anaknya bermain dengan mereka berdua. Seperti ketika di kebun cengkih milik Dayat, atau ketika bermain ayunan dirumah Dayat. Atau ketika kapanpun juga juragan Slamet mendapati anaknya bermain dengan Barok dan Fadil, ia akan marah-marah.
Namun, entah mengapa Dayat sepertinya tak mengerti, ia tak peduli dengan amarah orang tuanya. Baginya Barok adalah kakak yang mengayomi. Barok adalah teman yang pertama kali membelanya ketika ada anak yang menjahati dirinya. Meskipun mereka satu kelas namun Baroklah yang paling tua dari mereka berempat.
Persahabatan mereka merusak batasan kaya-miskin, susah-senang, rumah tembok-rumah kayu, persahabatan mereka tanpa pamrih. Hanya cita-cita mereka yang menyatukan mereka dalam persahabatan, cita-cita untuk sekolah di kota.
Setelah turun dari Watu Kodok Dayat bicara langsung didepan Fadil.
“Apa yang harus aku katakana pada bapakku Dil?”, ucap Dayat,” Kau tahu bukan watak ayahku bagaimana.”
“Seharusnya, kau tak menambahi masalah dalam persahabatan kita ini Dil. Kita sudah terlalu kenyanng dengan segala marah yang setiap hari beliau muntahkan.” Tambah Dayat.
“Yat, jangan pernah takut untuk cita-cita dan kebahagiaan.” Tukas Fadil.
“Mudah sekali kau bicara Dil.” Ucap Dayat.
“Memang harus begitu yat.”
“Enak sekali kau bicara, hah! Coba kau yang bicara pada bapakku.”
“Kau saja yang bicara. Kau anaknya Yat!” Jawab Fadil.
“Kau seperti tidak tahu ayahku saja Yat. Bicaralah padanya kalau kau berani. Coba bicara pada beliau. Kau yang bicara! Kau yang anak ustadz, bicaralah padanya.” Nada bicara Dayat mulai meninggi.
“Hei! Sudah! Kenapa kalian bertengkar? Kalian sahabat bukan?!” Rido yang sedari tadi menatap mereka dari atas segera loncat dari Watu Kodok dan melerai mereka.
Entah kenapa tangan Dayat meraih kerah seragam Fadil. Kancing Fadil lepas dari bajunya. Tubuhnya didorong oleh Dayat yang lebih kecil namun gesit itu.
Dayat merasa amarahnya tak dapat dibendung lagi. hatinya kesal dengan Fadil yang menganggap mudah bicara dengan bapaknya. Hati Dayat kesal karena ayah Fadil yang membuat semua ini jadi rumit. Perkara sekolah adalah hal yang sangat disetujui juragan Slamet. Selain membuat namanya melangit karena menyekolahkan anaknya. Ia juga berharap anaknya itu akan menjadi insinyur yang ahli mengatur perkebunan. Dan, tentu saja akan berbeda ceritanya jika nyantri menjadi agenda tambahan saat sekolah di kota nanti.
Suasana siang itu berubah menjadi tak terkendali Barok yang tertua merasa bersalah atas apa yang tengah terjadi. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, ia lerai kedua sahabatnya yang tengah saling dorong itu. Tangannya meraih Dayat dan Fadil yang semakin mendekat kearah tebing.
“Aaa!!!...” Suara teriakkan dari Fadil yang terpeleset dari tebing.
Dengan sigap Barok meloncat, tangan kanannya meraih lengan Fadil. Tangan kirinya memegang dahan perdu yang liar tumbuh ditepi jurang. Rido langsung meraih tubuh Barok. Dayat yang panik ikut menarik lengan Fadil yang mencengkeram perdu. Dengan sekuat tenaga Barok menarik tubuh Barok keatas permukaan. Sementara Rido dengan sekuat tenaga pula menarik tubuh Barok yang menahan berat tubuh Fadil.
Dengan tersengal Fadil menjejakkan kaki pada sebongkah batu yang tertanam pada dinding tebing. Tubuhnya sedikit terangkat keatas, ditariknya oleh Barok. Tangan kanan Fadil meraih uluran Dayat. Dengan sisa-sisa amarah Dayat menarik Fadil keatas permukaan. Dengan satu kaki kiri yang menjejak pada perdu selamatlah Fadil dari mulut maut yang menganga didepan umurnya.
Barok masih terlentang mengatur nafasnya, mengembalikan kesadarannya yang tidak percaya terhadap apa yang baru saja terjadi. Rido duduk bersila pada sisi kiri Barok menatap kepada Fadil yang koyak oleh ranting-ranting perdu. Sementara Dayat sudah lari menjauh dari mereka bertiga. Sementara itu, Fadil masih mengatur alur detak jantungnya yang tak beraturan. Tak percaya kepada hal yang baru saja dihadapinya.
“Biarkan Do. Biarkan Dayat menenangkan diri.” Ucap Barok menahan Rido yang bersiap lari menuju Dayat.
Dikejauhan pandangan mata, ternyata Dayat menelungkupkan kepala diantara kedua kakinya. Suaranya sesenggukan menangis. Menyesali apa yang telah ia lakukan kepada sahabatnya baru saja. Kenapa ia berbuat seperti itu. Apakah ia ingin membunuh sahabatnya?!
Dari kejauhan Rido memapah Fadil yang koyak kakinya karena perdu yang diinjanya berduri tajam. Sementara Barok menuju Dayat dan menenangkannya.
“Sudah, tak apa kawan.” Ucap Barok.
Dayat membalik dan memeluk sahabat yang sudah dianggapnya sebagai kakak itu. Tangisnya masih pecah.
“Aku tak bermaksud melakukan itu Rok.” Tangisnya.
“Sudahlah. Tak perlu menangis seperti itu kawan.”
“Mari kita bantu Rido membawa Fadil.”
Dengan dituntun Barok, Dayat menuju Fadil yang dipapah Rido. Sedikit menahan malu dan takut Dayat menuju Rido.
“Tak apa. Kita sahabat bukan?!” Ucap Fadil.
Dayat tak jadi membantu Rido malahan ia memeluk tubuh Fadil yang menyandar pada Rido. Tangan kanan Rido meraih tubuh Dayat. Jadilah mereka bertiga saling berpelukan. Sementara dari kejauhan Barok melihat adegan itu dengan senyuman.
Post a Comment