Kang! eps. 3


Belajar Sambutan




Pagi  telah berganti sore. Suasana sore yang begitu teduh, angin begitu sejuk seakan membuat simfoni pada riak-riak sungai berbatu. Nyanyian bebatuan ditengah sungai itu berserakan tak keruan, membentuk formasi alam yang enak untuk dipandang. Gemericiknya memekakkan telinga, deburnya mengajak setiap yang mendengar untuk segera melepas peluh. Sungai yang membelah bukit Tuwarih itu diberi nama Kali Genteng. Entah siapa yang pertama kali menyebutnya demikian. Yang jelas tidak ada genteng atau apapun yang menyerupai atap di kali itu. Hanya bebatuan, air, semilir angin, tebing-tebing curam, sawah terbentang berundak-undak bak pelataran yang saling tumpang-tindih, juga hutan yang begitu luas menghampari gemunung, keindahan yang sempurna.




            Dari Kali Genteng terdapat kincir air untuk sumber listrik warga Tuwarih, disana terdapat juga penambang pasir, pencari ikan, serta irigasi yang membelah petak-petak sawah milik warga Tuwarih. Kali yang menjadi sumber kehidupan itu tetap lestari. Diujung mata memandang terkadang terlihat petani yang tengah mencuci cangkulnya, atau penambang pasir yang tengah timbul-hilang di kedalaman Kali Genteng.
            “Hahaha.” Gelak tawa menemani langkah-langkah anak gunung itu. Kelahiran ditanahnya merupakan anugerah terbesar yang Allah limpahkan kepada mereka. Tumbuh dan besar di alam yang tenang merupakan anugerah tersendiri bagi manusia. Terasing dari hiruk-pikuk masyarakat yang saling sikut berebut kuasa.




            Langkah kaki setengah lari anak-anak itu menapaki titian sawah. Berjalan diantara hamparan padi yang mulai menghijau, disisi-sisi sawah yang terkadang menurun dan curam. Tawa-tawa itu semakin sering terdengar dari pada diamnya. Kaki-kaki itu sudah berjalan dua kilo demi melihat Kali Genteng. Pergi jauh ke lereng Tuwarih, meninggalkan pedesaan. Langkahnya semakin cepat saat gemericik air menabuh batu semakin keras. Kemudian terdengar.
            “Byur...” Seorang anak menyambut rayuan sungai. Kemudian terdengar suara tawa bahagia.




            “Byur...” Anak kedua dari barisan depan menyusul temannya.
            “Byur...”, lantas terdengar lagi,”Byur...”
Genap empat suara mendentum memecah kebisuan sungai. Membuat riak-riak pada derasnya aliran Kali Genteng.
            “Do, ayo ketengah sini.” Suara Fadil merayu Rido yang sedari tadi berkecipuk di pinggiran sungai saja.
            “Iya, beraninya dipinggir saja.” Barok menimpali Fadil dari atas batu yang bercongol besar ditengah Kali Genteng.




Tubuh Barok telah basah seluruhnya, ia rebahkan tubuh basahnya diatas batu menatapi langit yang sedari pagi sudah berbaik hati tidak menurunkan airnya. Matanya jauh menerawang. Pikirannya membenak dalam, matanya ia pejamkan. Merasai semilir angin yang semakin sepoi.
Tak sampai! Pikirnya buntu, ia tatapi lagi langit yang tengah membirui dirinya. Pikirnya terbentur kenyataan bahwa dirinya segera lulus dan akan melanjutkan sekolah jauh di kota, dan mondok, menjadi seorang santri.




            Sudah menjadi rahasia umum, bahwa seorang yang berangkat mondok dianggap sebagai anak-anak yang dalam pandangan umum adalah nakal, badung, tidak dapat diatur atau bahasa kasarnya; anak sengaja dikirim ke pondok bak seorang yang harus membayar hukuman karena dosanya. Parahnya anggapan kebanyakan masyarakat ini didukung anggapan bahwa hidup di pondok adalah hidup jorok, makan seadanya, mandi seadanya, tidur beralaskan seadanya telah menjadi momok dan aib sendiri bagi seorang anak.

0/Post a Comment/Comments