Jumat, 4 Juli
Pemakaman Dayat berjalan tanpa dihadiri Rido, Fadil, dan Barok. Kisah persahabatan mereka sudah dikenal. Empat remaja yang senantiasa terlihat bersama mengaji dirumah Pak Hasan. Tampak selalu bersama membersihkan mushalla ketika hari jumat tiba. Terdengar tadarusnya ketika malam Ramadhan menjemput. Semua warga Tuwarih yang dihuni tidak lebih dari seratus kepala keluarga terlalu hapal tentang kasih cinta persahabatan mereka. Runtang-runtung selalu bersama.
Pagi hari telah tiba. Suasana rumah duka dipenuhi pelayat. Setelah pukul sembilan pagi, ketiga jenazah dibawa ke mushalla al-Qanaah untuk dishalatkan. Sementara itu tiga liang kubur telah menganga menunggu jasad diturunkan kedalamnya. Warna merah tanah itu seakan mata yang semalam suntuk menangisi pujaannya. Lihatlah pada Sodriah wanita yang ditinggal suami sekaligus anaknya. Matanya merah tanda tak tidur semalaman.
“Sabar nak. Sabar...” Bu Hamdan masih saja memeluk Sodriah. Membesarkan jiwanya, sudah selayaknya ibu dari Sodriah yang senantiasa mencurahkan kasih serta sayangnya.
“Iya, Bu. Mohon doanya...” Disela-sela sengguknya Sodriah menjawabi wanita tua yang sedari kemaren malam menemani sadar-pingsannya.
Diseberang sana, tampak Sobari tengah mengumandangkan adzan untuk ketiga jenazah. Para tetangga berdiri hikmat disamping liang-liang makam ketiganya. Setelah jenazah sempurna diletakkan diliang lahat. Mulailah ditutupi dengan daun pisang, kemudian ditutup dengan bambu, dan terakhir tanah mulai dicangkuli. Secangkul, dua cangkul, tiga cangkul, terus sampai mata Sodriah melihat kubur suami dan anaknya menggunduk dan ditanami nisan. Tubuhnya kembali gontai, jatuh ke tanah. Para kerabat langsung membawa Sodriah pulang, kembali ke rumah.
Selama tujuh malam diadakan tahlilan dirumah Sodriah. Mendoakan suami dan anaknya, menjalankan sebuah perintah Tuhan. Dan mengakui hanya Allahlah tempat meminta segala kebaikan. Bahkan kalau boleh Sodriah akan memohon kepada Tuhan untuk diambil kehidupannya, menyusul orang terkasihnya diharibaan Kekasih. Namun, apatah mau diprotes doa keselamatan bagi mereka sudah anugerah yang luar biasa, pengobat kerinduan dan tanda cinta bagi orang-orang terkasih. Orang yang saling menyayangi, saling mendoakan bahkan ketika dunia dan kubur sudah membuat jarak.
Kabar kecelakaan itu menyebar begitu cepat bak aliran Kali Genteng yang begitu deras. Begitu pula dengan guru-guru dan teman Dayat di sekolahan. Mereka turut berkabung mendengar kabar musibah yang menimpa keluarga almarhum Dayat itu.
“Anak-anak mari kita mengirimkan doa Fatikhah untuk teman kita Muhammad Hidayat. Al-Fatikhah...” Pak Sumaeru memimpin doa. Mengajarkan kesetiakawanan kepada siswa-siswi SD notogiwang.
Suara surat Fatikhah terdengar samar namun jelas bunyinya.
“Aamiin...” Tangan-tangan suci itu menelengkupkan telapaknya ke wajah saat mengucap Aamiin.
Dengan kecintaanNya Tuhan menjawabi doa mereka dengan IstijabahNYa.
Hari-hari para siswa di SD 01 Notogiwang sudah berjalan seperti biasa. Belajar dan mengajar di sekolah juga berjalan seperti yang telah lalu. Siswa kelas enam telah lulus, yang kelas lima naik ke kelas enam, yang kelas empat naik ke kelas lima, yang kelas tiga naik ke kelas empat begitu seluruhnya.
Dan yang baru-baru mulai berdatangan, anak-anak Tuwarih yang masih ber-ingus mulai berseragam merah-putih. Begitulah pendidikan, yang lama dilepas, yang baru berdatangan, yang bercita-cita menggapai-gapai. Entah apakah negeri ini menyediakan cita-cita bagi siswa pedalaman Tuwarih sana, entah pemerintah memikirkan sekolahan dibalik hutan itu, entah apakah?! Bukan entah, jiwa-jiwa mereka lebih kuat untuk mewujudkannya.
***
Rencana melanjutkan sekolah tahun ini di tunda sampai kaki dan tangan mereka dapat digerakkan lagi. Hampir samua kaki korban kecelakaan itu patah, namun yang paling parah adalah Pak Hasan kakinya harus diamputasi yang sebelah kanan. Tangannya juga sudah tak selincah dulu gerakannya, pergelangannya patah dan membentuk sebuah benjolan yang mengakibatkan lengan Pak Hasan tak lurus lagi bentuknya.
Rido dan Fadil hanya patah tulang pada sebelah kakinya saja, sementara Barok tulang tangannya patah dan dua jari tangannya harus diamputasi. Satu tahun yang panjang bagi mereka untuk menahan cita-cita mereka yang membubung di cakrawala. Fisiknya memang sudah tak seenerjik dulu, namun semangat adalah semangat. Tetap hidup dalam setiap cobaan, tetap membara dalam setiap keterbatasan.
Setelah hampir dua minggu dirawat di RSUD Kajen, mereka bertiga dibawa ke pengobatan tulang pada seorang ahli pijat sangkal putung di daerah Pemalang milik mbah Gozali. Dalam waktu hampir setengah tahun mereka bertiga telah sembuh. Kecuali Pak Hasan yang lebih parah kondisinya.
Melihat kondisi yang seperti ini, Zulaikha bertambah khidmatnya mengurus sang suami. Meski dalam kekurangan dia tak mengeluh sepatahpun, uang sehari-harinya tetap dipenihu Pak Hasan. Setiap hari Zulaikha menemani pengobatan suaminya, sedang biaya perawatan sudah ditanggung jasa raharja. Beruntung. Seperti pada suatu malam yang cerah di RSUD tempat Pak Hasan dirawat. Kamar empat kali lima meter itu serasa menjadi bagian dari taman-taman surga. Menjadi saksi keberkahan bagi sepasang kekasih yang saling setia dan mencintai dalam ikatan suci pernikahan dan keluarga.
“Bu, apa ibu masih cinta sama bapak.” Tanya Pak Hasan sembari menahan sakit tulang kaki sehabis amputasi dikakiknya.
Zulaikha membisik,”Hidup-matiku bersamamu kekasihku. Kau imamku sampai akhir waktuku.”
“Apa kau tak melihat kondisiku sekarang ini?!” Perlahan air mata merambati gurat-gurat tua di pipi Pak Hasan.
Zulaikha memeluk penuh kasih tubuh kecintaan hidupnya, menciumi wajah suami tercinta. Tangis dijawab tangis, air mata bertemu air mata, cinta bersitatap cinta, Zulaikha tak akan pernah melepas sedikitpun suaminya. Bahkan, pengabdian kepada suaminya bertambah, pada suatu pagi yang cerah, Zulaikha dan suaminya mengalur kisah:
“Mas, sudah mendingan?”
Pak Hasan tersenyum tandanya benar.
“Ayo keluar mas, melihat sinar pagi.”
Pak Hasan sedikit menganggukkan kepalanya sembari memandang wajah istri tercintanya.
Diturunkanlah tubuh Pak Hasan dari tempat tidurnya, dibopong tubuh suaminya duduk diatas kursi roda. Lantas dengan sabar dan perlahan Zulaikha mendorong kursi roda itu ke taman bagian tengah rumah sakit. Bebunga tengah bermekaran, kupu-kupu berterbangan menjamah bebungaan. Sinar matari menjamahi tubuh Pak Hasan yang hampir dua bulan mendekam dalam kamar. Wajahnya dipenuhi rona yang sumringah serta simpul senyumnya yang menandakan dirinya tengah begitu bahagia.
“Bu, ambilkan bapak bunga mawar yang merah itu.”
“Iya pak.” Zulaikha memetik mawar itu setelah meminta izin tukang kebun yang sedang membersihkan rumput-rumput liar.
“Ini pak bunganya.”
“Terimakasih Bu. Bu, sini kedepan bapak.”
“Ada apa pak?”
“Ayo kesini saja, bu.”
“Iya pak.” Tubuh Zulaikha sudah didepan Pak Hasan.
“Merunduklah bu. Dekatkan kening ibu pada bapak.”
Zulaikha menuruti permintaan suaminya. Lantas Pak Hasan mengecup kening istrinya serta membisikkan kata,”Ibu terimakasih, Ibu senantiasa berbakti pada bapak dalam kondisi bapak yang seperti ini. Bapak mencinta ibu selalu.”
Zulaikha meneteskan air mata. Ditatapnya mata suami, pada jeda itu berkatalah jiwa-jiwa mereka yang saling merindu. Bahwa kasih mereka abadi, tak tergadaikan oleh waktu dan segala kepayahan hidup. Bahagialah kisah mereka.
“Bu terimalah mawarku ini. Paling tidak mawar ini adalah perlambang cinta sejati, meski keindahannya terkalahkan oleh senyum yang selalu menyimpul pada bibirmu disetiap waktu.”
Zulaikha menerima bunga itu, bibirnya tersipu, merona penuh malu pada orang-orang yang tiba-tiba saja sudah mengerumuni mereka di tengah taman. Tepuk tangan dari seorang terdengar, lalu diikuti pasang-pasang tangan yang lain. Romansa cinta sepasang kekasih yang sejati dapat dirasakan maknanya oleh semua orang. Bahkan orang yang tidak memilikinyapun. Cinta suci selalu menyelubungi mereka yang senantiasa menjaga dan merindukan cinta yang sejati.
Setelah menerima mawar itu Zulaikha mendorong kursi roda suaminya kembali ke kamarnya. Kerumunan itu mempersilahkan sepasang kekasih itu untuk segera melewati lorong-lorong rumah sakit. Melewati pagar yang dibuat oleh orang yang tadi gemuruh dengan tepuk. Berpasang mata memandangi Zulaikha dan suaminya sampai mata mereka terhalang oleh sudut tembok yang memisahkan taman dengan lorong-lorong.
Post a Comment