Kang!!! Eps. 1

Ceritanya Sehabis Makan-makan




Moksa.

“Mati! Aku telah mati?!” Saat diriku melihat jasad tak bernyawa berada disamping tubuh ayahku. Tak ada yang kuingat. Semuanya telah terputus denganku, anganku, kenanganku, sedihku, tangisku, semuanya, telah diputuskan dengan diriku. 

Aku hanya melihat tubuh bergelimangan itu, tubuhku, tubuh ayahku, dan para sahabatku. Nadiku sudah tak lagi mendenyutkan kehidupan. Mataku terkatup sudah. Hujan tak lagi kurasai, angin tak menyemilir lagi, kesedihan tak dapat kutangisi lagi. Tubuh ayahku berada dekat dengan jasadku. Lihatlah bahkan tangannya masih erat merengkuh tubuhku. 




Lima meter dari jiwaku, sebuah mobil ringsek, hancur tak berbentuk. Aku masih menunggui jasadku, entah mengapa tak ada sesiapapun menjemputku, menerangkan sedikit saja tentang apa yang tengah kualami. Sementara jasad sahabatku Rido, Fadil, Barok tergolek tak sadarkan diri. Sementara Pak Hasan masih tak sadarkan dan Mang Abu yang sudah mendahului aku. 




Satu yang dapat kurasa, kedamaian saat tiba-tiba tubuhku entah mengalami apa. Dan saat kutahu, jasadku sudah tak dapat kulihat lagi. Aku berada entah dimana, disuatu tempat yang tak kutahu, dan satupun takku kenali. 

Aku moksa.
 *** 

Pemakaman tiga jenazah itu penuh haru. Orang-orang yang ditinggalkan merapal doa untuk keselamatan suami, ayah, anak, dan tetangga tercinta. Semuanya bersatu dalam kabung. Namun, orang yang dikebumikan tersenyum bahagia merengkuh kasih abadi. Berkumpul dengan para kekasih yang sejati. 

Cericit burung menyimpuli pemakaman penuh haru dengan bebunyiannya yang beraneka rupa. Sepasang elang memata-matai kerumunan pelayat dari atas sana. Semilir angin menggeraikan kerudung Sodriah, matanya masih memerah tetapi sudah tak mengeluarkan air mata. 




Pemakaman kali ini tiga jenazah sekaligus, seorang ayah dan anak, serta seorang tetangga yang penuh bakti. Desa Tuwarih berkabung. 


Sebuah cerita masa kecil. 
Seluruh yang hidup di desa itu melihat seberkas sinar yang memancarkan silau dari sebuah benda di langit alam dunia. Sinarnya mampu menerjang setiap tingkatan atmosfer bumi. Menerangi bumi dengan kecepatan rambatnya yang begitu cepat, tiga kali sepuluh pangkat delapan meter per sekon. Pada seberkas sinarnya ia menerangi sebuah desa jauh di pedalaman Pekalongan. Desa paling selatan dari Pekalongan, tersembunyi dibalik rerimbun hutan Jati dan Pinus. Tertutupi gemunung yang menderet dari ujung Tegal, Pemalang, Pekalongan sampai ke daerah Semarang. Sebuah dusun yang hanya terlihat kerlipan lampunya ditengah gelap malam. Kegelapan yang syahdu dan hati yang penuh syukur sebab telah dilahirkan sebagai pribumi desa nan subur itu. Ketika gemintang malam digantikan mentari dimulailah kisah ini. Sebuah kisah dari semburat orange mentari pagi.
 *** 

Mentari pagi menyinari sebuah dusun bernama Tuwarih, Desa Notogiwang. Sinarnya membuat bayang-bayang pada jejak hidup penduduknya, menjadi saksi setiap laku yang tengah diadegani penduduknnya, alamnya, semuanya, bahkan anak-anak kecil sangat riang menertawai bayang jarinya yang membentuk burung di tembok sekolahan. 

Lain halnya dengan bangku-bangku di dalam kelas, masih saja membisu. Debunya pun masih menebal diatas meja. Sawang-sawang digenteng sesekali bergoyang terdesir oleh angin. Hanya sedikit terik mentari yang berani menerobos senyapnya ruang kelas pagi ini. Semilir angin membawa hawa sejuk dari lereng-lerang bukit yang kini telah ditanami dengan rumah-rumah penduduk. 

Sesekali dari tanah landai disamping kelas terlihat elang yang berputar-putar memburui mangsanya. Sesekali pula angin mendesis menggeraikan dedaunan cengkih yang tengah begitu ranum-ranumnya. Daun berwarna hijau muda dan tua dipenuhi bebunga bakal cengkih yang siap panen bulan depan. Sekarang bulan Juli, sekitar Agustus bulan depan warga Tuwarih akan panen raya cengkih. 

Pada jalan utama desa anak-anak tampak sumringah, mengenakan merah-putih, berlarian menuruni bukit menuju sekolahan. Wajah-wajah lugu pribumi disimpuli pula bibirnya dengan senyuman yang merekah. Kaki menjajak tanah, dari kaki-kaki mereka terlihat ada yang bersepatu, ada yang bersandal belaka, dan bahkan ada pula yang tak beralaskan apapun. Namun mereka semua bahagia, ceria sekali, semangat memenuhi rongga dada mereka. Bahkan mentaripun kalah cerianya menerangi pagi ini di bumi Tuwarih.




 “Hai.. Dil, tunggu!” Suara setengah berteriak dari atas tebing memanggil bocah yang tengah berjalan di jalanan yang menurun. 

Yang dipanggil berhenti,”Iya, cepat sudah siang, Rok!” Barok bergegas lincah menuruni undak-undakan yang dibuat untuk mempermudah akses dari rumahnya menuju jalan utama desa. 

“Ada PR ndak Dil?” Tanya Barok sambil menata nafasnya yang masih tersengal.

 “Ada.” Jawab Fadil singkat. 

“Loh! Kok bisa Dil. Punyaku belum tak garap.” Sosok Barok memang suka ceroboh dalam mengerjakan tugas sekolahnya. Bukan apa-apa, hanya saja sehabis pulang sekolah sampai senja hari ia harus membantu ayahnya membersihkan lumut yang menempel di pohon cengkih. Lumut-lumut yang menempel pada batang-batang cengkih adalah hama yang akan memengaruhi hasil panen ayahnya. Sedangkan hasil panen cengkih adalah sumber utama kehidupan keluarganya. 




Wajah Barok tampak menyeringai demi mengatahui hal itu. Kemudian dari atas tiba-tiba dua bocah yang berlarian mendorong Fadil dan Barok, mengagetkan. Letak rumah mereka berdua berbeda dengan rumah Barok yang terletak diatas tebing, justru rumah dua orang yang baru datang itu berada dibawah jurang sana. Namanya saja dusun Jurang, tempat dimana terletak pusat peradaban desa Notogiwang disana kokoh berdiri Balaidesa, Masjid, Sekolah, dan TPQ.

0/Post a Comment/Comments