Oleh: M. Fairuz Rosyid
Abstrak
Sudah terlalu banyak kata, kisah, serta bertumpuk buku bertutur
kisah tentang cinta. Seakan sudah bosan telinga ini mencercap kata yang terdiri
dari lima huruf itu. Agaknya, ada sesuatu yang hilang jika kehidupan tanpanya.
Namun, ketika kehidupan diwarnai olehnya, dalam diri siapa saja akan muncul sebuah
kehidupan yang dahsyat. Seoalah tak ada habisnya umur bagi untaian kata itu, sudah
terlalu banyak pujangga menulisnya dalam berbait-bait puisi. Dimulai dari
Majnun, Romeo, Rama, sampai Arok. Apakah sebenarnya puisi? Puisi selalu menjadi
medium seorang untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaannya. Puisi agaknya
memang medium yang tepat untuk mengungkapkan perasaan cinta dan kerinduan bagi
seseorang. Sebutlah saja cinta dari seorang ulama kepada umatnya, bak Iqbal dan
India, Gus Mus dan Indonesia, bak Rumi dan muridnya. Siapa tak kenal puisi,
berarti tak pernah mencercap keindahan. Kehidupan bukanlah sekedar rutinitas,
tetapi ada sebuah nilai yang menjadikannya lebih indah. Betapa tidak jika Einsteinpun
telah mengungkapkannya. Lantas apa sebenarnya makna kehadiran puisi bagi
mediumisasi cinta itu? Untuk menjawabnya penulis meluangkan waktu untuk
mengupas misteri cinta yang tersimpan rapat dalam pepuisian dunia yang begitu melimpah
jumlahnya. Sebagai bukti data ilmiah ada beberapa penyair terkenal yang akan
penulis hadirkan dalam artikel ini. Penyair-penyair itu seperti Jalaluddin
Rumi, Muhammad Iqbal, Arthur Rimbaud, Shakespeare, Chairil Anwar, WS Rendra,
Taufik Ismail, Gus Mus, Cak Nun, dll.
Kata kunci: Puisi dan cinta.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Puisi: saksi sejarah bagi peradaban dunia.
Sejarah
manusia ditandai dengan jelas oleh riwayat perjuangan hidup dan peradabannya
bersama puisi. Sel-sel majaz sebuah puisi, baik konotatif maupun
denotatif, kerap menyulut api perubahan dan menjadi semacam lampu ajaib yang
sanggup menerangi kelamnya politik. Tak menegherankan jika John F Kennedy
teringat puisi pada hari pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat. Bahkan
ia mengundang Robert Frost, penyair ternama Amerika Serikat pertengahan abad
20, untuk membacakan puisi di depannya.
Sebuah penampilan yang akhirnya menginspirasi Presiden baru itu menciptakan
ungkapan,”Jika politik itu kotor, puisi yang akan membersihkannya”.
Tak
heran jika puisi-puisi karya Gilgamesh diabadikan dalam lempengan-lempengan
lempung oleh bangsa Sumeria di lembah Mesopotamia 5000 tahun yang lalu dengan
menggunakan huruf paku. Selain itu ada pula syair-syair purba, seperti “Kidung
Agung”, “Ayub”, “Mazmur”, “Amsal”, serta syair-syair mitologi Yunani yang
terdapat dalam Iliad dan Odyssey karya Homerus, kitab-kitab puisi Kebijaksanaan
Tao dan Konfusius, La Galigo suku Bugis, atau tradisi sastra lokal lainnya,
seperti pantun, gurindam, seloka, semuanya disajikan dalam syair-syair indah.
Bahkan dalam masa Jahiliyyah, peradaban Arab telah menempatkan puisi dan
penyair dalam posisi tertinggi secara sosial. Pengaruhnya melebihi ketua suku,
bangsawan, dan saudagar kaya. Dalam perkembangan mutakhir Arab, tak akan
terlupakan penyair besar Irak, Nazik Malaikah. Bagi rakyat Irak, Nazik dianggap
sebagai salah satu pahlawan revolusi yang memperlancar jalannya kudeta Rasyid
al-Kilani.
Di
Nusantara, puisi-puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16 dan
ke-17 masih berpengaruh pada puisitransendental masa kini. Adapun puisi-puisi
Chairil Anwar, misalnya, turut membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan.
Bagaimana pula kita menafikan puisi-puisi WS Rendra dalam mendorong perubahan
politik di negeri ini.[3]
Pesantren: saksi bagi geliat puisi Nusantara.
Dalam
bentangan Khazanah Islam dan Pesantren, tak dipungkiri memang, ulama-ulama masa
lalu negeri ini, telah banyak menorehkan karya (sajak/syair) yang luar biasa
monumentalnya. Bahkan bertaraf dunia, sebut saja (sekedar menyebut nama
beberapasaja dari banyak kiyai yang kreatif), seperti Syekh Ahmad Khatib
Minangkabawi, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz At-Tarmasi dan tentu saja
Kiyai Hasyim Asy’ari dan Kiyai Bisri Musthafa yang telah menuliskan begitu
indah Syarh Qashidah Munfarijah, buah pena Taqiuddin As Subki, yang
kesemuanya adalah berbahasa Arab.
Kepiawaian
kiyai bermain diksi, juga rima dalam sajak (syair) itu tentu lantaran selain
kemahirannya dalam ilmu bahasa arab(seperti telah benar menguasai ilmu arudl
dan balaghah), juga ditunjang oleh malakah atau insting
ekspresinya yang begitu lembut, karena mereka ikut terlibat dan turut merasakan
kegetiran yang terjadi di sekelilingnya. Oleh karena itu tak sedikit kiyai
tempo dulu itu punya kelebihan semacam ikhtira’,
yaitu kemampuan berimprovisasi secara sepontan, sehingga dengan mudah saja
sajak-sajak yang begitu indah dan dengan deras keluar dan mengalir dari bibir
atau penanya. Salah seorang kiyai yang punya kelebihan seperti itu adalah Kiyai
Abdul Hamid Pasuruan, yang dikenal sebagai seorang wali. Menurut Kiyai Mustofa
Bisri, dalam menerangkan berbagai hal ilmu agama kepada santrinya, ia kerap
menjadikan kitab fiqih yang awalnya sulit dimengerti menjadi bentuk nadzaman
(sajak) yang begitu indah.[4]
Puisi:
medium bertutur bagi sebuah cinta.[5]
Kasongan.
Tepat pada 22 Juni 2015 penulis berkesempatan untuk mengikuti kajian puisi
bersama penyair nasional Matori A Elwa pada acara pesantren kepenulisan yang
diadakan oleh almamater[6]
tercinta.
Sore
itu Sekitar pukul 15.30 senja hari bahasan tentang puisi di kaji. Muassis
Baitul Kilmah[7]
memilih Kang Matori A Elwa sebagai sumber inspirasinya. Ada satu hal yang membuat penulis merasa heran kenapa
setiap sastrawan memiliki nama khas-yang mungkin-berbeda dengan apa yang
tertulis dalam akta kelahiran. Tapi, inilah layaknya monumen yang menjadi saksi
akan jalan sejarah pada proses kreatif yang telah ditapaki oleh mereka.
Sebuah
kalimat menarik yang sempat penulis tangkap dan penulis catat dari Kang Matori,
bahwa,”mumpung masih muda harus ada kegilaan,”kalimat ini juga bersanad
kepada seorang sastrawan (Ahmad Thohari) yang disabdakan kepada beliau.
Kegilaan dalam tafsiran beliau adalah sebuah ‘kesunyian’ dalam menapaki tiga
hal yang disebut oleh Thoha Husain: Kebenaran, Kebaikan, dan Keindahan. Betapa
keindahan menduduki puncak tertinggi bagi pecinta kesejatian. Pada bagian yang
lain beliau menerangkan bahwa,”penulis yang baik adalah penulis yang tidak
takut dikritik.”
Menurut
pengamatan penulis hal itu tidaklah mustahil jika melihat puisi-puisi dari Kang
Matori. Yang Maha Syahwat, merupakan salah satu puisi yang sempat beliau bacakan
saat Ngaji puisi pada sore itu. Melihat dari judulnya saja seakan-akan sudah
mengundang kritik. Ternyata memang benar untuk melahirkan sebuah karya yang
besar harus mampu melewati tapal batas ke-kaprah-an.
Pada
kesempatan itu pula, penulis mendapatkan ilmu bahwa puisi merupakan sebuah
medium bagi setiap orang yang memiliki pikiran-pikiran murni untuk melawan
keburukan. Syair (baca: puisi) Nabi Muhammad pulalah yang membangkitkan para mujahid
dalam perang Khandaq, serta bukti lain bahwa syair atau puisi merupakan
sebuah medium adalah sahabat Nabi Hasan bin Tsabit yang selalu membuat semangat
Nabi dalam jihad membela hak muslimin dengan kafir, juga penyair Ka’ab bin
Zuhair yang membacakan puisi di depan Banat Su’ad, kemudian Nabi memberinya
penghargaan.[8]
Semua
hal diatas cukuplah untuk menjadi bukti dan petunjuk bagi kita semua bahwa
puisi, atau sajak, atau syair merupakan medium bagi sebuah cinta untuk
mengungkapkan dirinya. Cinta dari seorang Nabi ketika melawan kejahatan untuk
membela umatnya, cinta seorang sahabat kepada Nabinya, atau cinta seorang Kiyai
kepada santrinya, cinta seorang Presiden kepada kebenaran, atau cinta kekasih
kepada kekasihnya.
Wahai malam: merobek makna cinta.
Tak
ada yang tahu persis seperti apa, atau siapa, atau bagaimana, atau kapan, atau
dimana sebenarnya keberadaan cinta itu. Akan tetapi setidaknya berbagai tulisan
yang telah diupayakan para pendahulu merupakan data penting untuk melacak
kehakikatan cinta itu. Mungkin tidak segamblang apa yang diharapkan kita semua.
Namun, paling tidak ada sebuah pemahaman yang membenak dalam pikiran kita
mengenai hakikat cinta itu sendiri. Dalam sebuah bukunya Ismail Fajrie Alatas[9]
mengungkapkan hal berikut.
Menyenangkan
hati meski tanpa kawan dan penjaga.[10]
Layla adalah malam. Kekasih yang
keberadaannya tak terpandang, tetapi kehadirannya begitu dekat. Majnun mabuk
dalam cinta dan kerinduan ... apa daya kedua bola matanya tak kuasa memandang
Layla. Maka, ia bermunajat sepanjang malam. Menyendiri dipekarangan rumah Layla
tanpa kawan dan penjaga. Kendati dalam kesendirian, Majnun tenggelam dalam
kebahagiaan karena malam hayalah miliknya.
Tanpa
kawan, tanpa penjaga. Apa yang terjadi antara Majnun dan malam hanya diketahui
keduanya. Tak ada yang dapat menyebarkan kenikmatan menyendiri dan luapan cinta
yang menderu di tengah kegelapan. Bukankah orang lain tak perlu memahami apa
yang tersirat diantara keduanya? Bukankah pada akhirnya mereka tak dapat
memahami luapan cinta Majnun kepada kekasihnya? Mereka akan menyebutnya gila.
Tak waras. Namun, begitulah cinta.
Wahai
pendengki, mungkin dirinya akan kau bunuh karena engkau tak menghayati cinta.
Mungkin dirimu terbakar dalam api kecemburuan. Namun, para kekasih akan tetap
bersemayam di balik tabir kegelapan malam. Terhindar dari mata jahat para
pendusta. Maka, rahasiakanlah, jalinan cintamu kepadanya jika engkau
menginginkan kebahagiannya.[11]
Sebenarnya,
latar belakang penulis seudah memadai untuk mewakili kajian pada artikel kecil
ini. Namun, untuk memenuhi kaidah ilmiah penulis perlu membahasnya secara
terperinci kedalam poin-poin tertentu. Untuk itu ada beberapa rumusan masalah
yang akan penulis kaji dalam artikel ini. Sebagaimana ungkapan dalam buku
kumpulan puisi Rumi, Rumi the Book of Love,
“Remember, the way you make love is the way
God will be with you”.[12]
2.
Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud dengan puisi?
B. Siapa saja yang menggunakan puisi sebagai mediumisasi dan implementasi
kehidupan cintanya?
3.
Tujuan
A. Teoritis
Memperbanyak diskursus mengenai
puisi.
B. Praktis
Memberikan penyegaran pemahaman
tentang puisi atau syair yang berkaitan dengan cinta secara ilmiah.
4.
Pendekatan
Pendekatan
yang digunakan dalam penulisan artikel ini didasarkan pada paradigma dan
metodologi analitik dengan teknik pendalaman materi (verstehen) dengan analisis
kritis menggunakan data kualitatif. Proses yang dilakukan secara terus menerus
sejak penulis berupaya memahami data sampai seluruh data terkumpul.
HAKIKAT PUISI
A. Pengertian Puisi.
Secara
konvensional, sastra terdiri atas tiga genre, yakni puisi, prosa, dan drama.
Puisi merupakan salah satu genre yang paling tua. Jika ditelusuri, sudah banyak
definisi puisi. Dalam pandangan tradisional, puisi (poetry) merupakan ragam
sastra yang terikat oleh unsur-unsurnya, seperti irama, rima, matra, baris, dan
bait (Yusuf, 1995:225).
Melalui
kumpulan definisi yang dilakukan Shanon Coleridge puisi adalah kata yang
terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan
disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur
dengan unsur lain sangat erat hubungannya, dan sebagainya.
Menurut
Carlyle puisi adalah hasil pemikiran yang bersifat musikal. Sementara itu,
Wordsworth menyatakan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan imajinatif,
yakni perasaan yang diangankan. Dunton menyatakan bahwa puisi merupakan
pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional dan
berirama.
Berdasarkan
definisi tersebut, tampak beberapa unsur yang menjadi simpulan Shanon Ahmad
(Pradopo, 2005:7), yakni puisi itu merupakan emosi, imajinasi, pemikiran, ide,
nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan
perasaan yang bercampur-baur. [13]
B. Urgensi Bahasa dalam Puisi.
Pada
kajian intrinsik karya sastra, bahasa sebagai medium sastra tidak dapat
diabaikan. Karya sastra disusun dengan bahasa (Widdowson, 1978:203). Apapun
rumusan dan pengertian orang tentang sastra, bahasa tetap merupakan medium
sastra yang tidak dapat diabaikan. (Subroto, 197b:i3). Medium bagi penciptaan
seni sastra adalah bahasa.
Bahasa
bagi seni sastra dapat disamakan dengan
garis dan bidang bagi seni lukis, gerak dan irama pada tari, nada dan irama pada
seni musik dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa karya
sastra memiliki status khusus sebagai seni verbal (Cummings dan Simmons,
1986:vii). Selanjutnya Cummings dan Simmons menyatakan bahwa bahasa merupakan
aktivitas bermakna. Bahasa sebagai inti dari semiotika kemanusiaan dan sebuah
model bagi semua bentuk perilaku bermakna lainnya. Dengan demikian untuk
memahami hakikat bahasa, kita harus memiliki kepekaan terhadap pola-pola makna
dalam semua jenjang bahasa seperti simbol-simbol grafik, leksikogramatikal,
serta organisasi semantik yang terdapat dalam setiap bentuk teks.
Karya
sastra bersifat text-contained sehingga interpretasi sebuah karya sastra
ditemukan dalam karya itu sendiri (Widdowson, 1978:203; Teeuw, 1983:22).
Widdowson (1978:204-205) selanjutnya menyatakan sebagai berikut:
“With
literary text, generally speaking we can concentrate on the text -itself
without worrying about distracting social appendages. Literary messages manage
to convey meaning because they organize their deviations from the code into
patterns which are discernible in the texts themselves”.
Dengan
demikian, sebuah karya sastra dapat dilihat dari teks sastra itu sendiri tanpa
melibatkan aspek “di luar” teks tersebut.
C. Peranan Puisi pada Masa Kehidupan Nabi Muhammad s.a.w.
Peranan
sastra (baca: puisi) pada zaman Nabi sangat signifikan. Ketika terjadi
penaklukan kota Makkah, Ka’ab, seorang penyair ulung itu merasa terancam
jiwanya, ia bersembunyi untuk menghindari luapan amarah para sahabat Nabi. Saat
itu, saudara Ka’ab yang bernama Bujair bin Zuhair langsung mengirim surat
kepada Ka’ab, yang isinya antara lain menganjurkan agar Ka’ab keluar dari
persembunyiannya dan menghadap Nabi untuk memohon maaf. Anjuran itupun diikuti
oleh Ka’ab. Melalui ‘tangan’ Abu Bakar As-Siddiq, disana ia menyerahkan diri
kepada Nabi. Ia pun sangat terharu dengan sikap Nabi dan sahabat-sahabatnya,
yang pada waktu itu tidak saja memberikan pintu maafnya; akan tetapi, mereka
menyambut dengan baik kehadirannya, bahkan semua yang hadir pada waktu itu
memberikan salam hormat yang tinggi kepada dirinya. Saat itu pulalah Ka’ab
insyaf dan bersahadat.
Setelah
Ka’ab memeluk Islam di depan Nabi. Rasa hormat Nabi kian bertambah,
sampai-sampai beliau melepaskan burdah (sorban)-nya dan memberikannya
kepada Ka’ab. Sejak itu, Ka’ab langsung menggubah puisinya yang sebelumnya
berisi penghinaan menjadi pujian-pujian yang sangat indah, puisi gubahan itu
sangat dikenal dengan sebutan Banat Su’ad (Putri-putri Su’ad), terdiri atas 59
bait (puisi). Kasidah ini disebut pula dengan qasidah burdah,
yang kelak diabadikan oleh kaligrafer Hasyim Muhammad al-Baghdadi di dalam
kitab kaligrafi-nya, Qawaid al-Khatt al-Arabi.
Kisah
masuknya Islam penyair Ka’ab ini hampir sama dengan penyair ulung Ibnu Ruwahah
yang masuk Islam karena sikap santun dan pemaaf Nabi beserta sahabatnya. Maka
sejak bergabungnya dua penyair ulung itu kepada barisan Islam, kitab puisi
sejenis karya Musailamah dan al-Qais semakin tenggelam, dan pada gilirannya
al-Qur’an semakin diminati juga dipelajari. Kurun ini, sering disebut sebagai
babak baru kesusastraan Arab dan juga bagi agama Islam. Perkembangan penyair Islam bersama al-Qur’an,
tidak saja telah berhasil membawa pembaharuan terhadap sastra Arab, namun juga
terhadap kebudayaan secara keseluruhan. (Syauqi Dlaif, Tarikh al-Adab
al-Arabi, Kairo: Dar al-Maarif, 1968).
Mungkin
karena terinspirasi dari dengan peran sastra yang sangat signifikan pada zaman
Nabi itu, Sultan Salahuddin (memerintah pada tahun 1174-1193 M atau 570-590 H
pada Dinasti Bani Ayyub), pada peringatan maulid Nabi yang pertama kali pada
tahun 1184 (580 H), kemudian menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi
dengan karya puisi. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti
kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja’far
al-Barzanji (wafa pada 1177 H/1763 M). Karya ini dikenal sebagai Kitab Puisi Barzanji,
yang sampai sekarang sering dibaca oleh masyarakat di kampung-kampung pada
peringatan Maulid Nabi. Kitab itu
disusun dalam dua model: natsar (prosa lirik) yang terdiri atas 19 bab
dengan 355 bait, dan nazham (qashidah puitis) berisi 16 bab dengan 205
bait.
Kebenaran
bahwa puisi mampu mengikat kecintaan umat kepada Rasul sekaligus membangkitkan
semangat juang dan persaudaraan dalam berbagai peperangan telah diakui oleh
seorang orientalis seperti Karen Amstrong. Dirinya menyatakan bahwa, kitab
puisi Barzanji punya andil juga dalam kemenangan umat islam melawan tentara
salib. Kala itu di kota Yarussalem pada 2 Oktober 1187 M, dan selama 800 tahun,
Yarussalem tetap menjadi kota muslim. Karena itu, tak mengherankan, tradisi
maulid dengan pembacaan puisi-puisi pujian kepada Nabi terus berjalan hampir di
seluruh belahan dunia dengan ciri dan polanya masing-masing.[14]
Pujangga: ‘Nabi-Nabi Kecil’ Abad Modern.
A. Pujangga dalam Sejarah Dunia.
Potongan
diakronik sejarah kehidupan manusia telah melahirkan banyak pujangga-pujangga
kenamaan dunia maupun Indonesia. Mereka tersebar diseluruh lintasan waktu dan
menyebar keseluruh pelosok bumi. Mereka lahir bagaikan biji-biji Cactaceae yang tumbuh di gurun yang gersang namun memberikan kemanfaatan yang luar
biasa.[15] Diantara
pujangga-pujangga dunia yang telah memberikan pengaruh signifikan bagi
kehidupan adalah, Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal, Arthur Rimbaud,
Shakespeare, Chairil Anwar, WS Rendra, Taufik Ismail, Gus Mus, Cak Nun, dll.
Posisi
mereka dalam sejarah manusia tidak dapat diabaikan. Dimana karya-karya mereka
telah mengilhami banyak orang di seluruh dunia. Peranan mereka, jika tidak
dapat dikatakan sebagai berlebihan, sudah selayaknya nabi-nabi kecil yang
memberikan sabda tentang kebaikan melalui puisi-puisinya.
Maulana Jalaluddin Rumi: Puisi dan Sufistik
Siapa
tak kenal pujangga sufi yang satu ini. Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin
Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan
nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan)
pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207
Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang
ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang
saleh, ia mampu berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh.
Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanyaterancam oleh serbuan Mogol, keluarganya
meninggalkan Balkh melalui Khurasan dan Suriah, sampai ke Propinsi Rum di
Anatolia tengah, yang merupakan bagian Turki sekarang. Mereka menetap di Qonya,
ibu kota propinsi Rum. Dalam pengembaraan dan pengungsiannya tersbut,
keluarganya sempat singgah di kota Nishapur yang merupakan tempat kelahiran
penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar
yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan
api gairah Ketuhanan.Tahun 1244 M, Rumi bertemu dengan syekh spiritual lain,
Syamsuddin dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf.
Setelah Syamsuddi wafat, Rumi kemudian bertemu dengan pada Husamuddin Ghalabi,
dan mengilhaminya untuk menulisakan pengalaman spiritualnya dalam karyanya
monumentalnya Matsnawi-ye Ma’nawi. Ia mendiktekan karyanya tersebut kepada
Husamuddin sampai ahir hanyatnya pada tahun 1273 M.
Kumpulan
puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah
revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya
juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas,
mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio
Diakui,
bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair
lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia
hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam
puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak
ada yang menyamai.
Ciri
khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah
seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini
bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan
sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Banyak
dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun
nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia
tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai
imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain
ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan
memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta
Ilahi.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah :
“jangan tanya apa agamaku.
aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tahu, begitu
suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang
hidup di hatiku”.[16]
Dalam
sebuah buku elektronik yang diterbitakan
oleh Coleman Barks diungkapkan bahwa cinta adalah sebuah jalan untuk Tuhan
mengungkapkan sabda-sabdanya.
“Rumi makes preposterous
claims. One of the most startling is, “Our loving is the way God’s secret gets told!”32 Love is an open
secret, the most obvious thing in the
world and the most hidden, with no why to how it keeps its mystery. Sufis say the genesis of lovers meeting is God’s sweetest
secret”.[17]
Sebuah
puisi berjudul Love is the way messenger karya Rumi dalam buku Rumi the Way of
Love, sebagai berikut
Love is
the way messengers
from the
mystery tell us things.
Love is
the mother. We are her children.
She
shines inside us, visible-invisible,
as we
lose trust or feel it start to grow again
Begitulah
adanya puisi telah menjadi medium bagi Rumi untuk mengungkapkan kata-kata
cintanya kepada Tuhan. Puisi-puisi Rumi bercorak sufistik, tentang kehidupan
cinta seorang hamba kepada penciptanya.
Puisi Iqbal: Filsafat Manusia; Pembentuk Insan Kamil.
Muhammad Iqbal (Urdu: اقبال محمد), lahir di Sialkot,, punjab, India,
9 November 1877 – meninggal di Lahore, 21 April 1938 pada umur 60 tahun, di
kenal juga Allama Iqbal (Urdu: علامہ اقبال), adalah seorang
penyair , politisi, dan filsuf besar abad ke-20.ia dianggap sebagai salah satu
tokoh paling penting dalam sastra Urdu, dengan karya sastra yang ditulis baik
dalam bahasa Urdu maupun Persia.
Iqbal
dikagumi sebagai penyair klasik yang menonjol oleh sarjana-sarjana sastra dari
Pakistan, India, maupun secara internasional. Meskipun Iqbal dikenal sebagai
penyair yang menonjol, ia juga diangap sebagai “pemikir filosofis Muslim pada
masa modern”. Buku puisi pertamanya, Asrar-e-Khudi, juga buku puisi lainnya
termasuk Rumuz-i-Bekhudi, Payam-i-Mashriq dan Zabur-i-Ajam; dicetak dalam
bahasa Persia 1915. Diantara karya-karyanya, Bang-i-Dara, Bal-i-Jibril,
Zarb-i-Kalim, dan bagian dari Armughan-e-Hijaz merupakan karya Urdunya yang
paling dikenal.
Bersama
puisi Urdunya dan Persianya, berbagai kuliah dan surat dalam bahasa Urdu dan
bahasa Inggrisnya telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada perselisihan
budaya, sosial, religius dan politik selama bertahun-tahun. Pada tahun 1922, ia
diberi gelar bangsawan oleh Raja George V, dan memberinya titel “Sir”. Ketika
mempelajari hukum dan filsafat di Inggris, Iqbal menjadi anggota “All India
Muslim League” cabang London. Kemudian dalam salah satu ceramahnya yang paling
terkenal, Iqbal mendorong pembentukan negara Muslim di Barat Daya India.
Ceramah ini diutarakan pada ceramah kepresidenan di Liga pada sesi Desember
1930. Saat itu ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Quid-i-Azam
Mohammad Ali Jinnah. Iqbal dikenal sebagai Shair-e-Mushriq (Urdu: شاعر مشرق)
yang berarti “Penyair dari Timur”. Ia juga disebut sebagai Mufakkir-e-Pakistan
(“The Inceptor of Pakistan”) dan Hakeem-ul-Ummat (“The Sage of the Ummah”). Di
Iran dan Afganistan ia terkenal sebagai Iqbal-e Lahori (اقبال لاهوری "Iqbal dari Lahore"), dan sangat
dihargai atas karya-karya berbahasa Persianya. Pemerintah Pakistan
menghargainya sebagai “Penyair Nasional”, hingga hari ulang tahunnya(یوم ولادت محمد اقبال – Yōm-e Welādat-e Muḥammad Iqbāl) merupakan
hari libur Pakistan.
Ajaran Kedirian-Khudi Puisi
Iqbal
merupakan tokoh besar yang dimiliki muslim dunia bukan hanya India dan
Pakistan. Hal ini diungkap oleh pengkaji pemikiran puisi Iqbal asal China Liu
Shuxiong dalam artikelnya yang berjudul Iqbal and His Asrar-i-Khudi.[18]
“I define Iqbal as a Muslim
poet-philosopher of South Asia rather than of India or Pakistan, because he may
be considered as a poet of both countries”.
Secara
khusus, puisi-puisi Iqbal membicarakan tentang kekuatan tersembunyi yang berada
dalam diri manusia. Pemikiran-pemikirannya begitu genuine dalam
mengungkapkan spiritual dan filsafat.[19]
Dalam
Asrar-i-Khudi, Khudi (Diri/Pribadi), digambarkan abstrak, terkadang pula
kongkrit. Khudi dalam pemikiran Iqbal merupakan hal yang komplek. Besar
harapan Iqbal agar Khudi dapat membentuk sebuah masyarakat yang ideal,
“Iqbal’s philosophical conception of Khudi refers to a brand-new signification. It is not only the source and essence of the universe and natural person but the motive of all the activities and behaviors of human being. He uplifted the value of Khudi and inspired Muslims to cultivate Khudi for rebuilding the society”.[20]
DAFTAR PUSTAKA
Rujukan Buku
Aguk Irawan MN, Pesan al-Quran
untuk Sastrawan (Yogyakarta: Jalasutra, 2013), hlm. 72.
Coleman Barks, dkk. Rumi the
Book of Love(HarperCollins e-books, 2007), hlm. 71.
Ismail Fajrie Alatas, Al-Rashafat
(Yogyakarta: Penerbit Bunyan, 2013), hlm. 33.
Rujukan Internet
http://southasia.berkeley.edu/sites/default/files/Iqbal%20and%20His%20Asrar-i-Khudi.pdf
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Dr.%20Wiyatmi,%20M.Hum./buku-Ajar%20Puisi.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Jalaluddin_Rumi
https://id.wikipedia.org/wiki/Kaktus
[1]
Baca: puisi atau sajak.
[5]
Term ini penulis sadur dari memoar dalam kegiatan
Pesantren Kepenulisan Mahasiswa STAIN Pekalongan tanggal 22 Juni- 3 Juli 2015
di Baitul Kilmah milik Aguk Irawan MN, Kasongan, Bantul, Yogyakarta.
[7]
Aguk Irawan MN, sastrawan indonesia. Banyak novelnya yang
telah difulmkan seperti Sang Penakluk Badai yang dialih judulkan dalam layar
lebar menjadi Sang Kiyai, Air Mata Tuhan, dan Peci Miring.
[9]
Ismail Fajrie Alatas (AJI) lahir di Semarang pada 18
September 1983. Ketika berusia 14 tahun, Aji melanjutkan pendidikannya di King
Khalid Collage of Victoria, Melbourn, Australia dan meraih gelar kesarjanaan
dari University of Melbourne dalam Ilmu Sejarah dengan predikat first class
honours. Aji menyelesaikan program magister ilmu Sejarah di National
University of Singapore dan program doktoralnya dalam Ilmu Sejarah dan
Antropologi di University of Michigan, Ann Arbor, AS.
[13] http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Dr.%20Wiyatmi,%20M.Hum./buku-Ajar%20Puisi.pdf diakses pada Selasa, 29 September
2015 pukul 3.35 WIB.
[15]
Berbagai jenis
kaktus telah lama dimanfaatkan manusia sebagai sumber pangan, salah satunya
adalah Opuntia. Spesies ini banyak dikultivasi untuk diambil buah dan batang
mudanya. Buah Opuntia banyak diolah menjadi selai yang disebut queso de
tunaSementara itu, batang muda Opuntia yang dikenal sebagai nopalitos akan
dikuliti dan digoreng, dikukus, atau diolah menjadi acar dalam cuka asam-manis.
Sekarang ini, Opuntia juga masih dimanfaatkan sebagai pakan ternak, kosmetik,
dan obat-obatan. Dulunya, spesies kaktus Carnegiea gigantean dimanfaatkan
sebagai bahan dasar tepung untuk pembuatan roti. Namun tepung ini sudah tidak
lagi dimanfaatkan karena masyarakat lebih menyukai tepung dari jagung. Bagian
akar dari Echinocactus platycanthus juga diolah dalam cairan gula untuk
dijadikan permen. Bagian akar berkayu ataupun pembuluh vaskular yang mengandung
lignin dari kaktus juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan bahan. Diakses di https://id.wikipedia.org/wiki/Kaktus pada 29 September 2015 pukul 4.46 WIB.
[18]Diakses dari http://southasia.berkeley.edu/sites/default/files/Iqbal%20and%20His%20Asrar-i-Khudi.pdf pada 30 September 2015 pukul 21.32
wib.
[19]Liu Shuxiong berkata dalam artikelnya Iqbal and His Asrar-i-Khudi: Iqbal left behind himself a rich spiritual heritage to mankind,
particularly to the Islamic world. As a poet and philosopher, he wrote and
published eleven poetic works, in order of publication namely: Asrar-i-Khudi
(1915), Rumuz-i-Bekhudi (1918), Bayam-i-Mashriq (1923), Bang-i-Dara (1924),
Zabur-i-Anjam (1927), Javidname (1932), Musafir (1934), Bal-i-Jibril (1935),
Zarb-i-Kalim (1936), Pas Chay Bayed Kard aye Aqwam-i-Sharq (1936) and
Armughan-i-Hijaz (1938).
[20]
Liu Shuxiong dalam Iqbal and His Asrar-i-Khudi dalam
diakses dari http://southasia.berkeley.edu/sites/default/files/Iqbal%20and%20His%20Asrar-i-Khudi.pdf pada 30 September 2015 pukul 21.32
wib.
Post a Comment