"Manusia adalah sahabat bagi sesamanya". Nicolaus Driyarkara
Sebelum kita memulai diskusi mari kita hayati lirik paling fenomenologi eksistensial dari lagu Dewa 19 berjudul Kirana berikut ini,
"Kucoba memahami tempatku berlabuh
Terdampar di keruhnya satu sisi dunia
Hadir di muka bumi tak tersaji indah
Kuingin rasakan cinta
Lusuh lalu tercipta mendekap diriku
Hanya usung sahaja kudamba Kirana
Ratapan mulai usang, nur yang kumohon
Kuingin rasakan cinta"
Pada artikel terdahulu kita sudah membahas persoalan habitus dalam film Bumi Manusia yakni persoalan Landraad yang menjadi kepanjangan tangan kolonialisme dari pada menjadi lembaga peradilan yang suci. Sekarang kita akan berusaha untuk menggali ajaran paling fundamental yang ingin disampaikan oleh Pramoedya melalui Minke.
Kita akan membedah sosok Minke melalui konsep Sosialitas Driyarkara sekaligus konsep Psikologi Individual Alfred Adler. Tentu saja paradigma terdahulu mengenai habitus terkadang masih bisa kita manfaatkan untuk membaca sosok Minke. Kita hanya sedang berusaha menarasikan sosok Minke, tak lebih. Sehingga sosoknya dapat terlihat jelas di benak kita.
Dalam dua kutipan di atas sudah sedikit tergambar bagaimana sih sosok Raden Mas Minke itu? Ya itu, beliau adalah sahabat bagi sesamanya sekaligus karena persinggungan romansanya ia berdialektika, berusaha memahami dunia tempatnya berlabuh. Pada kenyataannya ia mendapati tempatnya tumbuh tak tersaji indah. Padahal Minke hanya ingin merasakan cinta. Mari kita abstraksikan mozaik perjuangan Minke yang terbagi menjadi empat babak yaitu, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Bumi Manusia
Minke merupakan anak seorang bupati yang bersekolah di Hogere Burger School (H.B.S) Surabaya. Perjuangan atas nama keadilan bagi bangsanya menjadi starting point untuk memahami sosok Minke. Keadaan terjajah dan kepribadian bangsa yang bobrok merupakan latar inferior yang sempurna untuk menciptakan karakter Minke sebagai pejuang sosial.
Pertemuan dengan Nyai Ontosoroh di Boerderij Buitenzorg menjadi pemantik bagi nilai-nilai yang ia yakini. Agak aneh ketika ternyata ada seorang nyai yang pribumi memiliki kemampuan manajerial setara eropa. Ahli dalam mengelola perusahaan sekaligus menerapkan nilai kemanusiaan dalam usahanya. Semua pegawai diijinkan bertempat tinggal di Boerderij sekaligus diberi kebebasan mengelola pertanian maupun peternakan untuk mencapai target produksi.
Permasalahan menjadi semakin privat ketika masalah inferioritas sosial menimpa keluarga Minke dimana dia harus terpisah dengan sang istri karena hukum Belanda saat itu tidak mengakui status perkawinannya. Dari sini kita paham bahwa untuk berkeluarga pun bangsa kita harus tunduk pada hukum milik orang lain.
Anak Semua Bangsa
Akibat menanggung derita perpisahan, Annelis meninggal dunia di negeri ayahnya: Belanda. Pada babak ini Minke mulai melakukan perjalanan ke penjuru daerah menemui berbagai persoalan bangsanya. Ia bertemu Trunodongso, seorang petani yang menolak lahannya disewa secara paksa oleh pabrik gula kolonial.
Pada akhirnya Minke bertemu anak semua bangsa yang tengah berjuang melawan kolonialisme. Melalui tulisan ia gambarkan penderitaan bangsanya. Jeratan penjajahan, birokrat yang rela diperbudak Belanda demi jabatan, penindasan, hukum, pendidikan. Bagi Minke, eropa yang menindas sama saja monyetnya.
Jejak Langkah
Di buku ini diceritakan bahwa Minke melawan pemerintah kolonial dengan membentuk organisasi serta membangun pers. Keduanya digunakan sebagai alat untuk memobilisasi massa agar terlibat melawan kolonial. Selaian itu, ada pula surat kabar Soenda Berita(1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Minke juga mendirikan Sarikat Dagang Islam.
Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Medan Prijaji semakin dekat dengan masyarakat bumiputra sebagai koran yang memuat persoalan tentang penindasan yang dilakukan oleh gubermen. Akhirnya Medan Prijaji pun mendapat sorotan dari gubermen dan mendapat peringatan. Minke, saat itu sebagai pemimpin Medan Prijaji ditangkap dan dibuang ke tempat pengasingan.
Rumah Kaca
Pada babak ini Minke diasingkan ke pulau terpencil di Maluku Utara. Pangemanann, seorang juru arsip asal Manado yang diberikan perintah untuk mengawasi bumiputra, khususnya Minke. Setelah lima tahun akhirnya Minke meninggal usai melihat media dan organisasi yang dibangunnya selama ini direbut oleh gubermen kolonial. Akan tetapi pengaruh Minke terus membekas bagi bumiputra.
Homo Homini Socius
Bagi Driyarkara, hakikat keberadaan manusia adalah saling membangun, memelihara, dan menjaga dunia sehingga menjadi dunia manusia. Dunia manusia tak mungkin hanya seorang individu, justru secara bersama-sama manusia menciptakan dunianya. Oleh karena itu pula manusia bersifat sosial, sesama manusia bersaudara, berteman, bersahabat (socius). Berbeda dengan pandangan Hobbes, yang menilai kodrat manusia adalah “bellum omnium contra omnes” atau “homo homini lupus”, manusia adalah serigala bagi yang lain, saling menindas dan menghukum. Dalam hal ini, ajaran Hobbes "homo homini lupus" diganti oleh Driyarkara menjadi "homo homini socius".
Dalam sosok Minke terlihat jelas bahwa ia adalah pejuang keadilan bagi masyarakatnya. Hal ini terlihat jelas terutama pada tiga babak pertama. Pada Bumi Manusia, sosok Minke hanya interest pada permasalahan privasinya. Namun siapa sangka, kisah romantik adalah jalan pembuka bagi petualangannya. Pada Anak Semua Bangsa dijelaskan social interestnya semakin tinggi. Ia bertemu petani Trunodongso, menemukan permasalahan kolonialisme, mafia-mafia perdagangan, dsb. Penguasaan lapangan ini merupakan modal dasar bagi Minke untuk memperjuangkan keadilan sosial melalui tulisan. Sehingga tidak heran jika Minke mendirikan Medan Prijaji serta mendirikan organisasi Syarikat Dagang Islam pada babak Jejak Langkah. Meskipun akhirnya semua harus dibredel oleh pemerintah kolonial pengaruh Minke tetap lestari. Hingga akhirnya pada 1918 dalam damai ia meninggal dunia. Setelah ia jalankan seluruh tugasnya di dunia sebagai peletak fondasi risalah homo homini socius.
Ikatan sosial semacam itu membentuk hubungan yang sangat komplek di dalam tubuh masyarakat: saling berinteraksi, saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling bergantung satu sama lain. Proses itu dijembatani dengan komunikasi sebagai alat interelasi sekaligus sebagai alat penyelesaikan masalah.
Dalam kasus Minke jembatan itu berwujud pers dan organisasi yang ia dirikan. Medan Prijaji merupakan media masa corong bumiputra mengungkap tabir borok koloni, menuntut keadilan, sekaligus kemerdekaan. Bahasa yang digunakan pun bahasa melayu sebagai bahasa sosial bumiputra. Minke berusaha mengkomunikasikan permasalahan yang dialami bangsanya secara masif. Setiap pesan keadilan berusaha Minke tanamkan dalam setiap masyarakat sehingga membentuk persona yang saling terikat kuat.
Hal seperti itu perlu diusahakan sebab manusia menjadi makhluk sosial bukan sesuatu yang terberi secara magis. Manusia dituntut mengupayakan kepribadiannya yang bersumber dari sifat-sifat spiritual dan rohani. Hal ini pulalah yang menjadikan manusia tidak dapat disamakan dengan alam infrahuman atau dengan kata lain manusia pada hakikatnya seorang persona (badan-jiwa).
Hal ini benar-benar disadari oleh Minke. Bahkan dalam proses membentuk persona yang ia yakini Minke harus ditentang oleh ayah kandung, keluarga dan bangsanya. Usaha Minke membentuk persona dirinya berlanjut lebih dalam lagi, ia yang selalu menulis dalam Bahasa Belanda diberi masukan oleh Jean Marais, untuk mulai mengenal lebih dalam bangsanya sendiri dan menulis dalam Bahasa Melayu. Dan semua itu ia lakukan demi tercapainya keadilan.
Gandhi menjelaskan soal persona tersebut dalam pernyataannya berikut ini: Saya tidak percaya kepada seseorang yang dapat meraih kemajuan batin, sedangkan orang disekitarnya menderita. Saya percaya kepada advaita. Saya percaya kepada kemanunggalan hakiki umat manusia bahkan kemanungggalan semua makhluk hidup. Karena itu saya yakin bila seseorang mengalami kemajuan batin, seluruh dunia ikut menikmatinya, dan bila seseorang terperosok seluruh dunia ikut terperosok pula.
Perjuangan, bagi Alfred Adler dimulai dari dalam diri secara psikologis. Dimana perjuangan menuju kesuksesan didasarkan pada social interest/Gemeinschafgefuhl: perasaan sosial, minat sosial. Artinya kerangka yang harus dipahami adalah cinta yang dibentuk dalam ruang sosial. Motivasi terbesar adalah adanya keinginan berjuang mencapai tujuan sosial. Perasaan tertindas membuat Minke bangkit menuju superioritas namun berlatar sosial. Sebab modal sosial ini menjadi pelontar menuju kemerdekaan bumiputra yang ia perjuangkan.
Kita sudah mengkaji narasi mengenai sosok Minke secara acak tentu tidak menyeluruh. Abstraksi tentu dilakukan untuk mempermudah mengkristalkan konteks Minke di dalam novel aslinya. Namun yang pasti pesan bahwa Minke adalah sosok pejuang keadilan bagi bumiputra tak dapat dibantah.
Seluruh plot yang dibangun Pram didasarkan pada paradigma keadilan berbangsa. Artinya Minke membawa risalah homo homini socius, manusia sahabat sesamanya. Dalam bahasa Driyarkara homo yang homin: manusia yang berbudaya. Hal ini tentu saja diawali dengan memantapkan basis psikologi dahulu berupa kemampuan social interest yang tinggi sehingga mampu menangkap setiap persoalan sosial sekaligus memberikan solusinya.
Setiap persoalan itu berhasil dikomunikasikan oleh Minke melalui tulisan-tulisannya. Setiap tulisannya mampu menggugah kesadaran berbangsa bagi sesiapa saja. Supaya keadilan ditegakkan di setiap jengkal bumi Dipantara: Indonesia.
Post a Comment