Pesantren Roudatut Thalibin, Tempat Mulia Lahirnya Tafsir al-Ibriz
Bismillahi kelawan nyebut asmane Allah; Arrohmani kang welas asih ing dalem dunya; Arrohiimi kang welas asih ing dalem dunya akhirat; Alhamdu utawi sekabehane puji; Iku lillahi kagungane Allah; Robbil alamina kang mangerani wong ngalam kabeh.
CARA membaca kitab seperti kutipan bait di atas, sudah sangat umum di dunia pondok pesantren. Dengan metode itu, orang yang membacanya tidak sekadar tahu arti kata per katanya (mufrodat), tetapi sekaligus mengerti nahwu-shorof atau grammar-nya. Mana mubtadak, khobar, huruf nashob, rafak atau jar sekaligus, bisa diketahui lewat metode itu. Kitab Tafsir Al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa Rembang, juga menggunakan metode itu. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir populer lainnya, seperti Al-Jalalain karya Syeh Jalaluddin As-Suyuthi dan Syeh Jalaluddin AlMahalli dari Mesir serta Tafsir Munir, dan Ibnu Katsir, Kitab Tafsir Al-Ibriz menggunakan huruf Arab pegon. Kata demi kata Alquran, diterjemahkan dengan bahasa Jawa menggunakan huruf Arab. Dua belas tahun lalu atau tepatnya 1994, KH Kharis Sodaqoh, pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon, Bugen, Kelurahan Tlogosari Wetan, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, memulai membaca kitab Tafsir Al-Ibriz. Karena Kiai Bisri Mustofa, penulis kitab itu sudah wafat, maka Kiai Kharis meminta izin kepada salah seorang anak KH Bisri Mustofa, yaitu KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Awalnya hanya satu-dua orang yang mengaji. Itu pun masih terbatas warga kampung yang berdekatan dengan Pondok Al-Itqon. Setiap Minggu pagi, mulai pukul 05:30 hingga 07:00, ia membaca kitab yang terdiri atas 30 jilid itu. Mereka duduk lesehan tanpa alas di serambi Masjid Baitul Latief, tepat di tengah-tengah kompleks pondok.
Sejarah Singkat Pesantren
Berdiri pada tahun 1945, pasca masa pendudukan Jepang, pesantren ini semula lebih dikenal dengan nama Pesantren Rembang. Pada awal masa berdirinya menempati lokasi Jl. Mulyo no. 3 Rembang saja namun seiring dengan perkembangan waktu dan berkembangnya jumlah santri. Pesantren ini mengalami perluasan sampai keadaan seperti sekarang. Tanah yang semula menjadi lokasi pesantren ini adalah tanah milik H. Zaenal Mustofa, ayah dari KH. Bisri Mustofa pendiri Pesantren Rembang. Kegiatan belajar mengajar sempat terhenti beberapa waktu akibat ketidakstabilan kondisi waktu itu yang mengharuskan KH. Bisri Mustofa mengungsi dan berpindah-pindah tempat sampai tahun 1949.
Kesinambungan Pesantren Kasingan
Pesantren ini oleh banyak orang disebut-sebut sebagai kelanjutan dari Pesantren Kasingan yang bubar akibat pendudukan Jepang pada tahun 1943. Pesantren Kasingan pada masa hidup KH. Cholil Kasingan adalah pesantren yang memiliki jumlah santri ratusan orang dan terkenal sebagai pesantren tahassus ‘Ilmu ’Alat. Santri-santri dari berbagai daerah belajar di sini untuk menuntut ilmu-ilmu Alat sebagai ilmu yang dijadikan keahlian khusus macam nahwu (sintaksis Arab), shorof (morfologi Arab), balaghoh (stilistika). Atas usul beberapa santri senior dan mengingat kondisi pada waktu itu pada tahun 1955, Pesantren Rembang diberi nama Raudlatuth Tholibin dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan nama Taman Pelajar Islam. Motto pesantren ini adalah Ta’allama Al-‘Ilm Wa ‘Allamahu Al-Naas (kurang lebih berarti: mempelajari ilmu dan mengajarkannya pada masyarakat).
Pengajian Rutinan Pesantren
Metode pengajaran yang dikembangkan oleh pesantren ini pada awal berdirinya adalah murni salaf (ortodoks). Pengajaran dilakukan dengan cara bandongan (kuliah umum) dan sorogan (privat). Keduanya diampu langsung oleh KH. Bisri Mustofa sendiri. Ketika jumlah santri meningkat dan kesibukan KH. Bisri Mustofa bertambah maka beberapa santri senior yang telah dirasa siap, baik secara keilmuan maupun mental, membantu menyimak sorogan. Pengajian bandongan terjadwal dalam sehari semalam pada masa KH. Bisri Mustofa meliputi pengajian kitab Alfiyyah dan Fath al-Mu’in sehabis maghrib, Tafsir Jalalain setelah jama’ah shubuh, Jam’ul Jawami’ dan Pada waktu Dhuha, selain itu KH. Bisri Mustofa melanjutkan tradisi KH. Cholil Kasingan mengadakan pengajian umum untuk masyarakat kampung sekitar pesantren tiap hari Selasa dan Jum’at pagi.
Sebuah Era Baru Pesantren
1967, tiga tahun setelah putra sulung KH. Bisri Mustofa, yakni KH. M. Cholil Bisri pulang dari menuntut ilmu, KH. Cholil Bisri mengusulkan kepada ayahnya untuk mengembangkan sistem pengajaran model madrasi dengan kurikulum yang mengacu kepada kurikulum madrasah Mu’allimin Mu’allimat Makkah di samping pengajian bandongan dan sorogan. Usul ini disepakati oleh K.Bisri sehingga didirikanlah Madrasah Raudlatuth Tholibin yang terdiri dari dua jenjang yakni I’dad (kelas persiapan) waktu tempuh 3 tahun dan dilanjutkan dengan Tsanawi (kelas lanjutan) waktu tempuh 2 tahun. Pengajarnya adalah kyai-kyai di sekitar Rembang dan santri-santri senior.
Arti Penting Bahasa Arab dan Proses Berdirinya Kampus
1970, putra kedua beliau yakni KH. A.Mustofa Bisri, sepulang dari menuntut ilmu didesak oleh santri-santri senior untuk membuka kursus percakapan bahasa Arab. Desakan ini dikarenakan KH. Bisri Mustofa dalam banyak kesempatan hanya berkenan ngobrol dengan santri senior dengan menggunakan bahasa Arab. Dengan ijin KH. Bisri Mustofa kursus ini didirikan dengan standar kelulusan ‘kemampuan maharah dalam bahasa Arab’. Pada tahun ini didirikan pula Perguruan Tinggi Raudlatuth Tholibin Fakultas Da’wah, namun karena tidak mendapatkan ijin dari pemerintah maka Perguruan Tinggi ini terpaksa ditutup setelah berjalan selama 2 tahun.
Kondisi Pesantren Sepeninggal KH. Bisri Mustofa
Sepeninggal KH. Bisri Mustofa, 1977, pengajaran di pesantren diampu oleh ketiga putra beliau. Madrasah tetap berjalan. Pengajian bandongan Alfiyah dan satu judul kitab fiqh yang berganti-ganti sehabis Maghrib diampu oleh KH. Cholil Bisri untuk santri-santri senior serta KH. M. Adib Bisri untuk santri-santri yunior, Tafsir Jalalain setelah Shubuh diampu oleh KH. Mustofa Bisri untuk semua santri, waktu Dhuha KH. Cholil Bisri mengajar Syarah Fath al-Muin dan Jam’ul Jawami’ untuk santri senior. Pengajian hari Selasa diampu oleh KH. Cholil Bisri dengan membacakan Ihya’ Ulumuddin. Pengajian Jum’at diampu oleh KH. Mustofa Bisri dengan membacakan Tafsir Al-Ibriz. Pada saat inilah mulai diterima santri putri.
Sebuah Kurikulum Baru
Madrasah tetap seperti semasa KH. Bisri Mustofa yaitu dimulai sejak pukul 10.00 sampai dengan pukul 13.00. Kurikulumnya mengacu pada Madrasah Mu’allimin Mu’allimat pada masa KH. Cholil bersekolah di sana, dengan beberapa tambahan yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat secara tambal sulam misalnya pernah ditambahkan materi sosiologi untuk Tsanawiyah, materi bahasa Indonesia untuk I’dad, materi bahasa Inggris untuk Tsanawiyah dan lain sebagainya.
Pada tahun 2003, atas prakarsa Bisri Adib Hattani putra KH. M. Adib Bisri, dengan seijin KH. Cholil Bisri dan KH. Mustofa Bisri, diadakanlah madrasah yang masuk sore hari untuk santri-santri putra yang menempuh ‘sekolah umum’ pada pagi hari. Madrasah sore ini terdiri dari 5 tingkatan yaitu 2 tingkat I’dad dan 3 tingkat Tsanawiy. Kurikulumnya merupakan perpaduan dari Madrasah Diniyah Nawawiyah (terkenal dengan nama Madrasah Tasikagung) dan Madrasah Raudlatuth Tholibin Pagi. Kelas 3 Tsanawiyah sore beban pelajarannya setara dengan kelas 1 Madrasah Tsanawiyah pagi.
Kondisi Pesantren di Era Kontemporer
Pada tahun 2004, KH. Cholil Bisri meninggal dunia. Beberapa pengajian yang semula diampu oleh beliau sekarang diampu oleh santri-santri tua. KH. Makin Shoimuri melanjutkan pengajian bandongan ba’da Maghrib dan waktu Dluha. KH. Syarofuddin melanjutkan pengajian bandongan ba’da Shubuh selain membantu mengajar santri yunior selepas Maghrib. Pengajian bandongan santri yunior ba’da Maghrib diampu oleh beberapa orang santri senior yang dianggap sudah mumpuni. Santri senior yang sudah mengajar di madrasah dibimbing oleh KH. Mustofa Bisri dengan pengajian setiap malam selepas Isya’. Kecuali ‘santri pengajar madrasah’ semua santri mulai jam 21.00-23.00 diwajibkan berkumpul di aula-aula untuk nderes (istilah untuk mengulang pelajaran yang sudah diterima) bersama-sama.
Hari Selasa dan Jum’at semua pengajian bandongan diliburkan. Malam Selasa seluruh santri diwajibkan untuk mengikuti munfarijahan dan latihan pidato selepas maghrib. Malam Jum’at selepas maghrib semua santri diwajibkan mengikuti keplok, yaitu membaca hapalan seribu bait Alfiyyah bersama-sama diiringi tepuk tangan. Setelah acara tersebut, sekitar pukul 22.00-23.00 diadakan musyawarah kitab yang diikuti oleh seluruh santri.
Pengajian untuk umum setiap hari Selasa yang semula diampu oleh KH. Cholil Bisri sekarang dilanjutkan oleh putra beliau yaitu KH. Yahya C. Staquf yang khusus diminta pulang dari Jakarta untuk membantu mengurusi pesantren. Pengajian hari Jum’at diampu oleh KH. Mustofa Bisri. Apabila keduanya berhalangan mengajar pada hari-hari tersebut maka KH. Syarofuddin diminta untuk menggantikan mengajar.
Model Kepengurusan Santri
Santri yang berjumlah sekitar 700 orang membuat manajemen pengelolaan pun semakin kompleks. Untuk persoalan harian santri dibentuk satu kepengurusan yang terdiri atas santri-santri senior yang sudah magang mengajar. Kepengurusan ini dikoordinatori oleh seorang ketua yang dipilih oleh semua santri setiap dua tahun sekali. Santri-santri pengajar pengajian bandongan menjadi pengawas bagi berlangsungnya proses kepengurusan selama dua tahun sebagai dewan penasehat. Kesemuanya di bawah bimbingan langsung KH. Mustofa Bisri dan KH. Yahya C. Tsaquf yang menggantikan kedudukan ayahnya. Para santri yang mengikuti Pengajian Selasa dan Jum’at pagi biasa disebut dengan nama Jama’ah Seloso-Jemuah pun memiliki kepengurusan tersendiri yang mengurusi bantuan-bantuan kepada anggota jama’ah, ziarah-ziarah, peringatan hari-hari besar Islam dan lain sebagainya yang terkait langsung dengan masyarakat.
Terbitnya Sastrawan Cinta
KH. Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil dengan Gus Mus (lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944; umur 73 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Ia adalah salah seorang pendeklarasi Partai Kebangkitan Bangsa dan sekaligus perancang logo PKB yang digunakan hingga kini. Ia juga seorang penyair dan penulis kolom yang sangat dikenal di kalangan sastrawan. Disamping budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair.
Karya-karya
- Dasar-dasar Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H).
- Ensklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987).
- Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979).
- Kimiya-us Sa'aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya).
- Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung).
- Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994).
- Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993).
- Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994).
- Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995).
- Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996).
- Mahakiai Hasyim Asy'ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996).
- Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996).
- Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995).
- Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997).
- Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997).
- Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997).
Penghargaan
Presiden Joko Widodo atas nama negara memberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada dedikasi Gus Mus. Acara penyematan berlangsung di Istana Negara. Jakarta, 13 Agustus 2015.
Jabatan organisasi Islam
Rais Aam PBNU 2014-2015
Didahului oleh:
KH. Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz Rais Aam
PB Nahdlatul Ulama
2014-2015 Diteruskan oleh:
KH. Ma'ruf Amin
Website Penting
Post a Comment