Kemarin kita sudah cangkrok sufi bareng Buya Husein. Sekarang saatnya cangkrok sufi bareng Gus Ulil. Jika Buya Husein menjelaskan persoalan tasawuf dan jender maka Gus Ulil menjelaskan soal tasawuf dan sains. Ada pernyataan menarik dari Gus Ulil.
"Sekarang adalah era sains. Ulama' saat ini dituntut mampu memahami sains sehingga mampu menjelaskan kepada umat bahwa tak ada pertentangan apapun antara agama dan sains."
Tantangan itu berhadapan secara langsung di depan mata para teolog. Lihatlah bagaimana sains mampu menjelaskan hal paling subtil alam raya, mulai dari fisika nano hingga astronomi semesta. Sains mampu memberikan penjelasan sekaligus memecahkan problem kehidupan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dimana posisi tuhan dalam percaturan kehidupan ini? Dari pertanyaan ini Stepehen Hawkin memberikan jawaban telak: alam raya ini sudah cukup menjelaskan dirinya sendiri melalui hukum-hukum alam, tidak perlu lagi tuhan. Dari pernyataan ini kemudian muncullah ketidakpercayaan atas adanya tuhan. Lahirlah berbagai atheisme melalui argumentasi sains. Disinilah posisi penting para agamawan untuk memahami sains dan memberikan penjelasan kepada umat.
Sains dan kehidupan materialis adalah satu paket. Ia bertempat di alam zhahir. Soal kehidupan modern yang materialis Kitab Misykatul Anwar Ghazali menerangkan bahwa innalilllahi sab'iina hijaban. Ada sekitar 70 hijab atau penghalang untuk mengakses Allah. Ada hijab dari cahaya dan juga dari kegelapan. Orang-orang yang terhijab tidak bisa melihat Allah bukan dengan mata kepala tetapi dengan kesadaran spiritual yakni dihijab semata-mata dengan kegelapan, dihijab semata-mata dengan cahaya, dan campuran antara hijab kegelapan dan cahaya.
Sebagian manusia adalah orang yang memiliki rasa keingintahuan yang besaruntuk mengetahui asal mula alam semesta. Kemudian mereka menemukan bahwa asal alam semesta ini adalah aththab': proses alam. Sebagaimana dijelaskan Hawkin dalam bukunya The Grand Design. Membatasi diri pada ath-thab' merupakan sebuah hijab meterialisme. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Hikam,"Sesungguhnya alam ini adalah kegelapan semata. Lalu menjadi terang setelah Al-Haqq memberikan sinar, alam ini kemudian menjadi tampak. Tanpa tuhan alam adalah kegalapan semata." Lantas melalui jalan apa agar sinar Al-Haqq ini dapat diakses oleh kita?
Bagi Gus Ulil keimanan pada yang gaib adalah jawaban. Jelas sekali dimaktub dalam ayat pertama surat Al-Baqarah, alladzina yu'minuna bil ghaib. Jawabannya adalah iman kepada yang ghaib. Dibalik yang material itu ada kerja-kerja ghaib yang hanya bisa diakses dengan cara mengimaninya. Singkatnya, wujud af'al Allah dalam semesta adalah hukum-hukum sains itu. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara teologi dengan sains. Proses memahami wujud seringkali dapat menjebak kita dalam dunia material. Akses-akses menuju pada yu'minuna bil ghaib memang tidak mudah. Ada laku tasawuf yang perlu dihayati.
Tasawuf sebagai cara pandang, atau irfan dalam Mulla Sadra disebut Al-Hikmah Al-Mutaaliyah. Dalam Hikmah Muta'aliyah Mulla Sadra menjelaskan bahwa untuk mendekati material/maujud dengan cara makrifatul maujud bima huwa maujud: mengtahui sesuatu yang ada sebagai sesuatu yang ada: puncak pengetahuan kita akan sesuatu yang ada. Misalnya, mikrofon ada, Allah juga ada tapi apakah "ada" keduanya itu sama? Dalam Hikmah Muta'aliyah wujud itu bertingkat, ada wujud mutlak dan wujud nisbi (tidak riil).
Dalam bahasa lain, wujud dalam Al-Hikam: ada ajaran wahdatul wujud. Tarekat Syatariyah menjelaskan wahdatul wujud melalui konsep martabat tujuh: iwak telu sirah sanunggal.
"Utawi lamun kaningal buntute wujud ketelu (banyak), lamun tiningal sirahe wujud setunggal."
Jika dilihat dari ekornya wujud itu banyak, tapi dari asalnya (kepala) muk siji tok. Wahdatul wujud: wujud sirah sanunggal. Dalam bahasa Al-Hikam, bagaimana mungkin Tuhan itu bisa dihijab oleh sesuatu yang selain Tuhan sementara Tuhanlah yang membuat segala sesuatu itu menjada nampak. Allahlah yang nampak melalui segala sesuatu.
Bagi Gus Ulil, proses kritis untuk memahami kedalaman sesuatu ini sudah dijelaska oleh nabi melalui sabdanya. Man yuridillahu khairon yufaqqihu fiddin. Kata faqqih bermakna pemahaman, al-fiqh huwa al-fahmu. Memahami dengan mendalam soal apa? Memahami jalan kembali kepada Allah, itulah suluk, sangkan paraning dumadi. Sehingga para sufi menjadi orang-orang yang tidak mudah tertipu oleh permukaan dunia.
Selain berkaita dengan sains material Gus Ulil menyebutkan bahwa tasawuf berkaitan erat dengan humanisme. Tokoh modern untuk hal ini adalah Habib Ali Al-Jufri. Melalui bukunya al-Insaniyyah qabla tadayyun, kemanusiaan lebih dahulu sebelum keberagamaan. Ada kutipan menarik dari buku tersebut. Dikisahkan seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad,"Ma anta?", orang itu sudah sangat tidak sopan dengan menyebut ma dan bukan man. Akan tetapi Nabi tidak membalasnya dengan keburukan. Lantas Nabi menjawab,"Rosulullah". "Wa man arsalak?", "Allahu azza wajalla." "Bima arsalak?", "Aku diutus untuk menyambung tali silaturahim, melindungi darah, supaya tidak ada pertumpahan darah, dan mengamankan jalan-jalan supaya orang bisa menikmati keamanan, dan mengahancurkan berhala-berhala." -Menurut Gus Ulil, terutama berhala-berhala yang ada dalam diri kita, bukan berarti menghancurkan simbol-simbol agama orang lain, yang maksudnya sesembahan selain Allah taala, misalnya hawa nafsu bisa juga menjadi berhala, organisasi, parpol, harta benda, pengetahuan- dan menyuruh orang untuk menyembah kepada Allah."
Dalil menyambung silaturahim terdapat dalam surat Al-Hujurot, lita'arofu, intercultur communication, atau pendidikan multokiltural. Bagi Gus Ulil misi utama kanjeng nabi adalah kemanusiaan sebelum keberagamaan. Sebagaimana kisah di atas, tujuan utama Nabi Muhammad adalah poin-poin kemanusiaan baru di bagian akhir sabda itu beliau menyebutkan poin keberagamaan.
Diujung tulisannya Habis Ali menyatakan, "Iya wahai para teman-temanku, memang kemanusiaan harus didhulukan sebelum keberagamaan. Saya tidak mengatakan kemanusiaan mendahulukan agama (Addin)." Tasawuf dari Habib Ali sangat praktis sekali yaitu sikap kemanusiaan. Bukan kemanusiaan yang semata-mata kemanusiaan (humanisme sekular) melainkan gagasan/kesadaran yang dilandasi dengan spritualitas, kemanusiaan yang relijius (humanisme spiritual). Melakukan kebaikan ke manusia itu melakukan kebaikan kepada makhluk Tuhan. Menurut Gus Ulil, ada orang mendalami tasawuf sebagai laku praktis kemanusiaan adapula sebagian lain yang tidak puas dengan itu, lalu ia menjadikan tasawuf sebagai refleksi filosofis, cara pandang atas dunia.
Seperti misalnya ajaran iwak telu yang menjelaskan wujud Tuhan. Pertama sebagai dzat (tidak bisa diakses manusia: sirrulasror, tidak bisa dipahami oleh manusia). Akan tetapi Allah bilang dalam hadits qudsi, kuntu kanzan makhfiyyan faarodtu an tu'rof fakhalaqtul khalqa. Ketika sudah fakhalaqtu, dalam tarekat sattariyah disebutlah Tuhan sebagai wahdah), yaitu asma' washifat (Ia sudah bisa diakses oleh manusia, atau dalam bahasa lain ahadiyyah, simbolnya Nabi Muhammad), dan terakhir af'al (konkrit dalam bentuk ciptaan, simbolnya Nabi Adam). Ajaran demikian diadopsi oleh Kuntowijoyo dalam konsep manusia beragama yang terbagi menjadi tiga ranah yaitu subjektifikasi (isi pikiran2, isi hati), objektifikasi (eksternalisasi isi hati: mis. Ucapan), dan internalisasi (tindakan nyata).
Terlepas dari itu semua tugas kita adalah menemukan guru untuk memulai perjalanan kembali kepada Allah.
Post a Comment