Pemikiran Syed Naquib: pendidikan Islam sebagai pembentuk insan kamil anak era kontemporer.

Pemikiran Syed Naquib: pendidikan Islam sebagai pembentuk insan kamil anak era kontemporer.

Abstrak
Kebutuhan manusia modern akan pendidikan menjadi sangat urgen ketika  persaingan global semakin terbuka lebar melintasi tapal batas negara sebagai dampak globalisasi. Globalisasi telah menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia; sebut saja aspek kebudayaan yang telah memunculkan budaya transnasional yang belum tentu benar diterapkan di Indonesia dan aspek pendidikan yang telah melahirkan sekulerisasi pendidikan. Ketika arus aspek globalisasi itu berdampak positif bagi perkembangan rakyat Indonesia, maka bukanlah menjadi sebuah masalah. Tetapi ketika berbagai arus aspek globalisasi itu merugikan bagi tercapainya kehidupan sentosa bagi rakyat Indonesia maka sudah sepatutnya arus Globalisasi itu di filter dengan kacamata kearifan lokal Indonesia, atau bahkan arus itu harus dibendung. Sebab, globalisasi yang modernis tidak selamanya harus diikuti. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan adalah satu-satunya proses untuk menbendung atau bahkan  melawan arus glabalisasi tersebut. Maka, pendidikan Indonesia harus mampu mewujudkan manusia-manusia berkarakter Indonesia yang terdidik sebagaimana amanah proklamasi; Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, yaitu kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan berbudaya. Berbagai masalah pendidikan yang muncul akibat arus globalisasi tersebut harus dicari akar permasalahannya dan dicarikan penyelesaiannya. Sebagai pemikiran alternatif, pemikiran Syed Naquib tentang pendidikan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi civitas akademika untuk memperbaiki pendidikan Islam Indonesia. Hal ini sebagai upaya pengentasan berbagai masalah pendidikan di Indonesia.
Kata kunci: Globalisasi, Pendidikan,  Pemikiran Syed Naquib.

PENDAHULUAN
  1.  Latar Belakang
Ki Hajar Dewantara berpikir bahwa proses pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Bahwa pendidikan adalah usaha bangsa untuk membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan. Dalam teori konvergensinya, Ki Hajar Dewantara menyebut bahwa,”kita harus menghindari kehidupan menyendiri, terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaan hak, dan kemerdekaan masing-masing. Jelas, tujuan pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia Indonesia yang berpikir merdeka dalam mewujudkan kemakmuran bersama.




Pemikiran Ki Hajar diatas sejatinya tidak terlalu berbeda dengan konsep pendidikan Islam. Pendidikan Islam tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan manusia yang termanusiakan lewat pendidikan namun justru Islam melihat bahwa peserta didik adalah manusia-manusia merdeka yang telah termanusiakan lewat fitrah kelahirannya. Sehingga Islam tidak lagi bertujuan jasmani-indrawi saja, tetapi juga aspek ruhaniahnya. Islam memandang kemerdekaan manusia harus ditegakkan melalui lima tujuan syariatnya yaitu, menjaga kehidupan, menjaga harta, menjaga keturunan, menjaga agama, dan menjaga pemikiran. Sehingga setiap peserta didik telah merdeka sejak dalam pemikirannya. Dengan demikian Islam berupaya untuk membawa manusia-manusia yan telah merdeka itu pada kedudukan yang lebih tinggi, yaitu menjadi manusia yang terbaik sehingga dapat memberikan kemanfaatan bagi seluruh umat manusia. Dalam mewujudkan kepribadian muslim yang paripurna, pendidikan Islam tidak sekedar mencerdaskan aspek kognitif, afektif dan psikomotor semata tetapi lebih jauh pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim yang paripurna keempat aspek berikut: Ruhiyyah, Aqliyyah, Jismiyyah, dan Ijtima’iyyah.
1.      RUHIYAH TERBAIK
·         Mempunyai filsafat hidup dan kepercayaan yang benar
·         Beraqidah yang benar (Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya)
·         Bersyukur kepada Allah
2.      AQLIYYAH TERBAIK
·         Wawasan Keislaman
·         Pola Pikir Islami (Berpikir Jernih)
·         Prestasi terbaik
·         Out Standing
·         Extra Ordinary
3.      JISMIYYAH TERBAIK
·         Penampilan terbaik
·         Berbadan sehat
·         Bahasa Tubuh
·         Ekspresi
·         Cara Berpakaian
4.      IJTIMA’IYYAH TERBAIK
·         Perkataan terbaik
·         Bijaksana
·         Penuh Hikmah
·         Sikap terbaik
·         Positif Thinking
·         Pro Aktif
Keempat konsep tersebut merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam. Melihat realitas pendidikan di Indonesia sekarang, sudah sepatutnya kita dari mahasiswa pendidikan Islam untuk memberikan pemikiran-pemikiran alternatif sebagai upaya pengobatan terhadap setiap dekadensi yang dimunculkan dari sistem pendidikan yang ada sekarang. Salah satu pemikiran pendidikan yang menurut penulis dapat dijadikan pijakan adalah pemikiran pendidikan yang digagas oleh Syed Naquib seorang Indonesia yang kemudian menjadi tokoh pendidikan di Malaysia, dan telah melahirkan dua Universitas Islam di Malaysia yang berkelas dunia yaitu IIIT (International Institute of Islamic Thought) pada 1984 dan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilizatioan) pada 1988. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana pemikiran Syed Naquib untuk mengatasi permasalahan pendidikan Islam Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dikemukakan dalam rumusan masalah berikut.
  1. Rumusan Masalah
A.    Siapa Syed Naquib?
B.     Bagaimana pemikiran pendidikan Syed Naquib?
C.     Bagaimana dampak pemikiran Syed Naquib bagi pendidikan Islam Indonesia?

  1. Tujuan
A.    Teoritis
Memperkaya khazanah keilmuan mengenai dampak pemikiran pendidikan Syed Naquib  bagi pendidikan Islam Indonesia yang dapat dimungkinkan dapat meningkatkankualitas SDM pendidikan Islam Indonesia.
B.     Praktis 
Memberikan pemikiran pendidikan Islam alternatif kepada pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
  1. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan makalah ini didasarkan pada paradigma dan metodologi analitik dengan teknik pendalaman materi (verstehen) dengan analisis kritis menggunakan data kualitatif. Proses yang dilakukan secara terus menerus sejak penulis berupaya memahami data sampai seluruh data terkumpul.




BIOGRAFI SYED NAQUIB
Syed Naquib memiliki nama lengkap Syed Muhammad Naquib al-Attas. Beliau lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 5 September 1931. Bila dilihat dari garis keturunan  kedua orang tuanya merupakan orang-orang yang berdarah biru. Dalam tradisi Islam, orang-orang yang mendapat gelar Syed tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad Saw.
            Ketika berusia 5 tahun, al-Attas diajak orangtuanya bermigrasi ke Malaysia. Di sini al-Attas mendapat pendidikan dasar di Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun.  Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan, yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka al-Attas dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Disini ia melanjutan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama lima tahun (Ambary, et.al, 1995: 78). Di tempat ini al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsyabandiyah (Van Bruinessen, 1996:  159).
            Setelah Malaysia merdeka pada 1957,  al-Attas melanjutkan studinya di Universitas Malaya selama dua tahun. Karena kecerdasan dan ketekunannya, dia diutus oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, MacGill, Canada. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni 1959-1952, dia berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Aceh. Dia sangat tertarik dengan praktik sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia sehingga cukup wajar bila tesis yang diangkat adalah konsep Wujudiyyah al-Raniry. Salah satu alasannya adalah dia ingin membuktikan bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan oleh kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam sendiri (Al-Attas, 1990: 68-69). Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, al-Attas kemudian melanjutkan ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Disinilah dia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) di bawah bimbingan Lings, al-Attas menyelesaikan  perkuliahan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (Ambary, et.al., 1995: 78). Hal yang paling berpengaruh dalam diri al-Attas adalah asumsi bahwa terdapat intagrasi antara realitas, kosmologis dan psikologis. Dan asumsi inilah yang kemudian dikembangkan oleh Sayyed Hossein Nasr, Osman Bakar, al-Attas sendiri.
            Memasuki masa pengabdiannya, al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan Kajian Melayu pada Universitas Malaya rentang waktu 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya kajian Melayu. Sebab mengkaji sejarah Melayu dengan sendirinya juga mendalami proses Islamisasi diIndonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga Melayu banyak yang berisi ajaran-ajaran Islam dan kebanyakan yang dibicarakan adalah ajaran-ajaran Islam terutama tasawuf (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009: 301).
            Berdirinya Universitas Kebangsaan Malaysia, tidak bisa dilepaskan dari peranannya. Karena al-Attas sangat intens dalam memasyarakatkan budaya Melayu, bahasa yang digunakan dalam universitas tersebut adalah bahasa Melayu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga tradisi dan intelektual Melayu yang syarat dengan ajaran-ajaran Islam (Al-Attas, 1990: 90). Bahkan pada pertengahan 70-an al-Attas menentang keras kebijakan pemerintah yang berupaya menghilangkan pengajaran bahasa Melayu Jawi di pendidikan dasar dan lanjutan Malaysia. Sebab, dengan penghilangan tersebut berarti telah terjadi penghapusan sarana Islamisasi yang paling strategis (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009: 301).
            Pada April 1997,  al-Attas menyampaikan sebuah makalah yang berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowladge and the Definition and Aims of Education di hadaoan peserta Konferensi Dunia pertama tentang pendidikan Islam di Makkah. Dengan orasi yang meyakinkan, banyak peserta yang memberikan respons positif. Salah satu respons tersebut adalah diterimanya ide tersebut oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI). Selanjutnya sebagai realisasi dari ide-ide cemerlang al-Attas, OKI memberikan kepercayaan kepadanya untuk membangun Universitas Internasional di Malaysia pada 1984. Konsep Universitas ini sama dengan universitas lainnya hanya saj aditambah dengan pengajaran dasar-dasar keislaman dan bahasa Arab. Untuk memfilter segala pengetahuan yang tidak Islami, maka terjadi proses Islamisasi dalam diri mahasiswa itu sendiri sehingga konsep universitas lebih condong menjadi IIIT (Internasional Institute of Islamic Thought) dengan Islamisasi disiplin keilmuan.
            Pada 22 November 1988 secara resmi al-Attas mendirikan ISTAC (Internasional Institute of Islamic Thought and Civilization) dengan al-Attas sebagai ketuanya (Al-Attas, 1990: 11). Hal ini dekarenakan merasa sudah tidak sejalan dengan kebijakan rektorat IIIT.[2]
PEMIKIRAN PENDIDIKAN SYED NAQUIB
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan menurut pandangan al-Attas adalah Ta’dib yang berakar kata adaba yang berarti mengadabkan atau menanamkan adab. Al-Attas lebih memilih terminologi ta’dib karena dalam pendidikan harus ada sesuatu yang ditanamkan. Dalam bukunya Islam dan Sekulerisme, ia menulis bahwa pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia yaitu ta’dib (Al-Attas, 1981: 222). Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ta’dib dalam terminologi al-Attas  secara sederhana sebagai suatu muatan atau kekurangan yang musti ditanamkan dalam proses pendidikan Islam (ta’dib). Al-Attas mengatakan bahwa adab yang diturunkan dari akar kata yang sama dengan ta’dib, secara singkat dapat dikatakan sebagai lukisan keadilan yang dicerminkan oleh kearifan, ini adalah pengakuan atas berbagai hierarki dalam tata tingkat wujud, eksistensi, pengetahuan, dan perbuatan, seiring yang sesuai dengan pengakuan itu. adab berarti pula tindakan untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa yakni pencapaian dan sifat-sifat yang baik oleh pikiran jiwa untuk menunjukkan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan yang salah, agar terhindar dari noda dan cela. Menurut al-Attas, pengajaran dan proses mempelajari keterampilan , betapapun ilmiahnya, tidak dapat diartikan sebagai penidikan bilamana didalamnya tidak ditanamkan sesuatu.
Al-Attas melanjutkan bahwa pendidikan  adalah meresapkan dan menananmkan adab pada manusia, inilah yang dimaksud dengan ta’dib. Jadi, adab adalah apa yang diterapkan kepada manusia bila ia harus melakukannya dengan berhasil dan baik di hidup ini atau dihari kemudian. Penekanan pada adab mencakup amal dalam pendidikan dan proses pendidikan dimaksudkan untuk menjamin bahwa ilmu digunakan secara baik didalam masyarakat. Karena alasan inilah orang-orang bijak, para cerdik-cendekia, dan sarjana Islam terdahulu telah berhasil mengkombinasikan ilmu, amal dan adab dan menganggap kombinasi harmoni ketiganya sebagai pendidikan.
Adapun definisi adab menurut al-Attas adalah:”Adab berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wuud bersifat teratur secara hierarki sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat mereka tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, dan  ruhaniyah seseorang.” Akhirnya dengan merujuk pada konsep ta’dib, al-Attas mendefinisak pendidikan dan prosesnya sebagai berikut:”pengenalan dan pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga hal ini dapat membimbing ke arah  pengakuan dan pengenalan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan.” Adapun yang dimaksud pengenalan adalah, menemukan tempat yang sehubungan dengan apa yang dikenalinya, dan pengakuan berarti tindakan yang bertalian dengan itu (amal) yang lahir sebagai akibat menemukan tempat yang tepat dari apa yang dikenalinya.
2.      Tujuan Pendidikan Islam
Konsep mengenai tujuan pendidikan dapat digambarkan sebagi berikut, yaitu perubahan yang diinginkan dari proses pendidikan atau proses pendidikan untuk mencapai perubahan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya, ataupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu itu hidup, atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi diantara profesi-profesi dalam masyarakat (Al-Syaibani, 1979: 339).
Berbicara mengenai tujuan pendidikan Islam al-Attas mengemukakan:”tujuan mencari pengetahuan dalam Islam adalah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, dan bukan seperti peradaban Barat , yang menghasilkan warga negara yang baik.”Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia, adab dan pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia”. Al-Attass lebih menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, tetapi tidak berarti mengabaikan terbentuknya sebuah masyarakat yang ideal. Sebab, masyarakat terdiri dari perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.
Konsep pendidikan Islam pada dasarnya berusaha mewujudkan manusia yang baik atau manusia yang universal (al-insan al-kamil), yakni sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia dimana ia membawa dua misi, yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu, seharusnya sistem pendidikan Islam mrefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah Saw. Serta mewujudkan kualitas keteladanan Rasulullah semaksimal mungkin sesuai dengan potensi dan kecakapan masing-masing.  
3.      Sistem Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam  bagi al-Attas adalah terciptanya manusia yang berakhlak paripurna (insan kamil). Menurutnya perwujudan yang paling tinggi dan sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas. Universitas yang dirancang untuk mencerminkan yang universal harus pula merupakan pencerminan manusai itu sendiri. Universitas tidak begitu saja menconth universitas Barat, sebab universitas di Barat tidak tmencerminkan terbentuknya manusia, tetapi lebih mencerminkan unsur-unsur yang sekuler. Hal ini disebabkan dalam peradaban Barat atau peradaban di luar Islam tidak pernah ada seorang manusia sempurna yang bisa menjadi model untuk diteladani dalam hidup dan dipakai untuk memproyeksikan ilmu pengetahuan dan tindakan yang benar dalam bentuk universal sebagai universitas.
Selanjutnya untuk mewujudkan proses dewesternisasi dan Islamisasi seperti diungkap diatas maka yang menjadi penentu utaa adalah manusia itu sendiri, sebagaimana al-Attas menyebutkan, jika melalui suatu tafsiran alternatif pengetahuan tersebut manusia mengetahui hakikat dirinya serta tujuan sejati hidupnya dan dengan mengetahui itu ia mencapai kebahagiannya, maka pengetahuan itu walaupun tercelup dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan bentuk karakteristik dimana pengetahuan itu dikonsepsikan, dievaluasi,  dan ditafsirkan sesuai dengan pandangan tertentu, dapat disebut sebagai pengetahuan yang sejati, karena pengetahuan seperti itu telah memenuhi tujuan manusia dalam mengetahui segalanya (Al-Attas, 1981: 203).
Al-Attas berpandangan manusia sejati memiliki dua unsur jasmani dan ruhani, begitu pula dengan ilmu, ada ilmu pemberian ( yang datang sebagai pemberian Allah) dan ilmu capaian (yang  dicapai melalui usaha, pengamatan, pengalaman dan riset manusia).
4.      Corak Pemikiran Pendidikan Syed M. Naquib Al-Attas.
Dari konsep ta’dib dalam memaknai pendidikan Islam yang bertujuan untuk mewujudkan manusia yang universal, konsep pendidikan al-Attas dapat dikatakan sebagai sebuah sistem pendidikan terpadu. Hal tersebut secara jelas terumuskan dalam tujuan pendidikan Islam versi al-Attas, yakni tujuan pendidikan Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal. Insan kamil yang dimaksud adalah (1) Manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian: isoterik (vertikal dengan Tuhan menjadi hamba yang patuh kepada Allah swt) dan eksoterik (horizontal dialektikal dengan masyarakat membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya). Pandangan yang terpadu tersebut terformulasikan dalam integrasi ilmu dan sistem pendidikan Islam. Maksudnya, pendidikan Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannnya tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filsafat.
Dari deskripsi diatas corak pendidikan al-Attas adalah moral religius yang tetap menjaga keseimbangan dan keterpaduan sistem yang tercermin dalam konsep ta’dibnya yang mencakup ilmu dan amal. Kemudian secara substantif pemikiran al-Attas tergolong dalam kategori tradisionalis. Secara metodologis ia tergolong skriptualis, dari sudut historis ia termasuk dalam tipologi modernis. Dari segi pemikirannya ia tergolong reformis skriptualis. Meskipun mendasarkan pada teks-teks klasik, ia telah melakukan reformasi dan reaktualisasi sehingga sesuai dengan konteks era kontemporer.
PEMIKIRAN SYED NAQUIB BAGI PENDIDIKAN ISLAM ANAK-ANAK INDONESIA
1.      Pendidikan Anak dalam UU SISDIKNAS
Yang dimaksud pendidikan dalam UU SISDIKNAS BAB I Pasal 1 tentang ketentuan umum adalah:
(1)   Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya dalam UU SISDIKNAS tentang peserta didik adalah:”Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Sebagaimana pengertian pendidikan yang diusung oleh pemerintah Indonesia agaknya selaras dengan apa yang telah dirumuskan oleh al-Attas diatas. Dengan konsep ta’dibnya pendidikan Indonesia yang bertujuan mewujudkan manusia yang memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara dapat dicapai. Sebab pendidikan bukan sebatas memberikan ilmu, sebagaimana ungkapan al-Attas bahwa seberapapun ilmiahnya suatu pendidikan jika tidak ada yang ditanamkan di dalamnya sesuatu maka tidak dapat dikatakan sebagai proses pendidikan.
Jika melihat fenomena yang terjadi sekarang dimana maraknya tawuran antar pelajar bahkan mahasiswa yang mengerucut pada pertikaian antar desa antar suku ras dan agama di Indonesia, agaknya dapat dikatakan kurangnya penanaman nilai dalam setiap ilmu tersebut jika tidak dikatakan tidak adanya nilai yang diajarkan atau ditanamkan bahkan Guru teidak mengetahui nilai apa yang sebenarnya terkandung di dalamnya.
Menjadi Guru memang pekerjaan mulia namun apalah gunanya jika setiap ilmu yang diajarkan hana berujung pada kerusakan dan tindakan amoral. Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini sekelompok pelajar di Jakarta yang merayakan kelulusan dengan pesta bikini. Sungguh tindakan seksualis yang dilakukan tidak pada tempatnya, kelulusan yang seharusnya diekspresikan melalui syukur kepada Tuhan menjadi sebuah keamoralan pelajar Indonesia. Bangsa Indonesia yang memiliki adat ketimuran serta kearifannya tidak sepantasnya melaksanakan tindakan hedonis dan mementingkan kepuasan pribadi. Maka, konsep pendidikan al-Attas sudah selayaknya untuk internalisasikan dalam pendidikan Indonesia jika tidak diterapkan secara formal. Setidaknya konsep ta’dib yang universal dan berusaha mewujudkan manusia modern yang memiliki pribadi unggul dapat menjadi jawaban atas segala problematika pendidikan yang terjadi pada anak-anak Indonesia pada tahun-tahun terakhir.
Dapat disimpulkan, bahwa konsep ta’dib dalam pendidikan Islam yang dicanangkan al-Attas adalah obat bagi kebobrokan moral, intelektual, dan nasionalisme yang diakibatkan oleh sistem pendidikan Indonesia selama ini.
1.      Dari segi moral konsep ta’dib dapat menjawab tantangan pendidikan Islam Indonesia dengan menjadikan Nabi Muhammad sebagai model untuk menjadi insan kamil.
2.      Dari segi intelektual konsep integrasi yang dibawa al-Attas dianggap mampu menjawab dengan integrasi ilmu dan sistem pendidikan Islam. Hal ini dinyatakan bahwa pendidikan Islam tidak semata-mata hanya ajaran-ajaran Islam tetapi juaga ilmu-ilmu rasional, intelektual, dan filsafat.
3.      Dari segi Nasionalisme, jelas sekali bahwa al-Attas menolak penghapusan ajaran teks-teks Melayu yang berarti Post-Modernisme menjadi semangat pendidikan al-Attas. Bahwa setiap bangsa berhak untuk menjaga kebudayannya dari setiap hegemoni kebudayaan lain. Selain itu, dewesternisasi juga merupakan penolakan al-Attas terhadap pendidikan Barat yang hanya menjadikan manusia sebagai warga negara yang baik. Padahal untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan individu-individu beradab yang paripurna.

Daftar Pustaka

Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam: Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan al-Banna, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, K.H. Ahmad Dahlan, K. H. Hasyim Asy’ari, Hamka, Basiuni Imran, Hasan Langgulung, Azyumardi Azra. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang-undang SISDIKNAS. Permata press.






[1] Mahasiswa PBA STAIN Pekalongan semester enam, makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuiah Psikologi Perkembangan.
[2] Syamsul Kurniawan dan Edwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.175-179.



0/Post a Comment/Comments